Oleh Agus Siswanto
DIBANDINGKAN Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, dan lain-lain, sosok Ki Hajar Dewantara muncul sebagai sosok berbeda. Dia tidak ikut tenggelam dalam euforia perjuangan awal abad ke-20 dengan turun ke jalan, layaknya tokoh-tokoh lain. Ki Hajar Dewantara justru memilih jalan sunyi, jalan yang tidak dilintasi sebagian besar pejuang, yaitu sektor pendidikan.
Pilihan yang terkesan berbeda ini, jelas tidak muncul begitu saja. Semua muncul dari sebuah pemikiran yang begitu dalam. Jalur politik yang pernah ditempuhnya saat aktif di Indische Partij pada tahun 1912, dianggapnya bukan menjadi habitatnya. Baginya, sektor pendidikan merupakan lahan yang layak untuk digarap.
Keprihatinan Ki Hajar Dewantara muncul saat terjadinya praktik diskriminasi dalam akses pendidikan bagi rakyat tanah jajahan. Gembar-gembor pemerintah kolonial dengan politik etisnya, ternyata jauh panggang dari api. Program trilogi Van de Venter yang salah satunya adalah bidang pendidikan, ternyata hanya omong kosong belaka.
Hal ini terungkap dengan adanya pembatasan akses pendidikan bagi rakyat tanah jajahan. Akses pendidikan yang begitu luas, hanya diberikan pada anak-anak kaum priayi atau bangsawan dan pegawai negeri. Rakyat kebanyakan hanya mendapatkan pendidikan dasar yang dinamakan Sekolah Rakyat. Sebuah lembaga pendidikan yang hanya memberikan setitik pengetahuan bagi pesertanya.
Keprihatinan lain yang muncul kemudian adalah tentang anak-anak kaum priayi dan pegawai negeri yang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial. Sentuhan mereka secara intens dengan pendidikan Barat, bukan tidak mungkin menimbulkan ekses negatif. Cara berpakaian, bertutur, bergaul dengan model Barat, lambat laun akan memisahkan mereka dari akar budayanya.
Sikap yang dikhawatirkan adalah perubahan cara pandang mereka pada kaum pribumi yang lain. Penempatan mereka pada strata yang relatif lebih tinggi dari rakyat kebanyakan, dikhawatirkan akan melahirkan jarak antara mereka dengan bangsanya. Dan hal inilah yang diharapkan oleh pemerintah kolonial. Proses westernisasi ini diyakini akan membuat mereka lebih lama bercokol di tanah yang subur ini.
Keprihatinan Ki Hajar Dewantara akhirnya mendorongnya untuk mendirikan sebuah sekolah yang lebih mengedepankan wawasan kebangsaan. Sebuah sekolah yang diharapkan mampu menyemai benih-benih nasionalisme di dada setiap anak yang ada di dalamnya. Sebuah sekolah modern, namun penuh dengan nilai-nilai keindonesiaan. Sehingga pada tanggal 3 Juli 1922 berdirilah National Onderwijs Institut Taman Siswa di Yogyakarta.
Bukan Ki Hajar Dewantara kalau hanya berhenti sampai di sini. Di saat para pejuang lain melakukan berbagai gerakan menentang kolonialisme, Ki Hajar Dewantara lebih memantapkan lagi konsep pendidikan yang akan diusungnya. Semboyan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani pun dicanangkan. Semboyan yang berasal dari bahasa Jawa ini mempunyai arti ‘di depan memberikan contoh atau teladan, di tengah membangun kemauan, dan di belakang memberikan dorongan’.
Bentuk keindonesiaan Taman Siswa tidak hanya pada semboyan yang mereka usung. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah Sistem Among. Dalam sistem ini, seorang pendidik yang disebut among, lebur dengan para siswanya. Mereka mengabdikan seluruh waktunya setiap hari untuk mengajar siswa-siswanya, layaknya orang tua terhadap anaknya.
Kiprah luar biasa Ki Hajar Dewantara ini bukannya tidak ada yang menghalangi. Pemerintah kolonial yang mulai mencium adanya bahaya dari sekolah ini, melakukan berbagai cara untuk memberangusnya, di antaranya adalah munculnya Ordonansi Sekolah Liar pada tanggal 1 Oktober 1932. Namun, dengan kelihaiannya menerobos berbagai birokrasi, Ki Hajar Dewantara mampu menghadapinya, bahkan aturan itu tidak berlaku lagi.
Perjalanan panjang Ki Hajar Dewantara di sektor pendidikan, ternyata membawa banyak hal positif bagi negeri ini. Sehingga saat Indonesia telah merdeka, Ki Hajar Dewantara pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Pengajaran Indonesia pada kabinet pertama republik ini. Sedangkan penghargaan tertinggi atas pengabdiannya ditunjukkan dalam dua hal, yaitu hari lahirnya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, setiap tanggal 2 Mei. Hal ini semata-mata karena jasanya merintis pendidikan nasional.
Penghargaan lainnya adalah pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno, pada tahun 1959. Demikian pula logo tut wuri handayani yang dibuatnya, menjadi logo resmi Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Lembah Tidar, 27 April 2022
Agus Siswanto, seorang guru Sejarah di SMA Negeri 5 Magelang yang terperangkap dalam jerat literasi. Pria yang dilahirkan 56 tahun lalu ini, telah melahirkan dua buku tunggal dengan genre komedi; Super Karyono serta Karyono dan Ibu Negara. Dia aktif menggalang beberapa antologi, membersamai teman menerbitkan buku, juga aktif menulis di beberapa blog. Email: agus.historia@gmail.com.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582.