Oleh: Fatatik Maulidiyah
Malam itu aku melihat air mata Ibu turun dari dua kelopak matanya. Pelan-pelan sampai menyentuh sudut bibirnya. Membentuk dua jalur sungai yang berkilauan diterpa cahaya bulan yang jatuh di beranda rumah. Malam seperti enggan beranjak demi menemaninya menghabiskan kesedihan itu sendirian. Tidak seperti aku, jika menangis tubuhku berguncang-guncang, dadaku sesak, mulutku juga meracau.
Ibu masih belum beranjak dari kursi kayu yang dicat putih oleh Ayah beberapa tahun lalu. Seingatku warna putih adalah permintaan Ibu agar beranda terlihat teduh selaras dengan tanaman hias dengan dedaunan hijau yang rimbun. Suasana asri kesukaan Ibu. Ingin sekali aku mendekatinya, sekadar mengelus punggungnya supaya ia berhenti menangis. Jika Ibu menangis, aku ikut sedih meskipun kadang tidak mengerti apa sebabnya.
Kini aku berada di sampingnya. Meja kecil bundar di sebelah kananku yang juga berwarna putih itu masih setia dengan satu pot tanaman lidah buaya di atasnya. Tapi, aku tak ingin menatap Ibu. Aku hanya melihat sekejap dari sudut mata kiriku dan selebihnya memandang pohon mangga yang daun-daunnya bergerak disentuh angin malam.
Setelah beberapa lama kami terdiam menikmati lembutnya cahaya bulan juga angin lembut yang berembus menyentuh wajah kami berdua. Akhirnya Ibu mengucapkan sesuatu padaku. Keheningan seketika patah oleh suaranya yang lembut dan parau.
“Kau sudah makan, Fay?”, wajah Ibu tak lagi basah oleh air mata. Bibirnya justru membentuk larik senyum tipis. Aku mengangguk sambil menggenggam telapak tangan ibu yang dingin.
“Fay, Ibu ingin kau selalu melakukannya jika kau ingat pada ayahmu”, kini tangan Ibu yang memegang pundakku. Seketika kurebahkan pelan kepalaku di bahunya yang kian ringkih.
“Apapun yang engkau inginkan, Bu. Aku akan melakukannya, apalagi untuk almarhum Ayah”.
Tangan Ibu makin erat menarik pundakku.
Tak hanya ketika rindu, Ibu berharap engkau membaca surat Al-Fatihah untuknya selagi ingat”, kini ibu menatap lekat-lekat pada dua mataku. Sebuah tatapan yang mengisyarat kesungguhan, keseriusan, dan betapa pentingnya pesan yang disampaikan padaku.
Kami sudah hampir melewatkan satu jam berdiam diri dan berbincang ringan di beranda rumah tua ini. Rumah tempatku lahir dan dibesarkan. Dalam perbincangan kami, Ayah disebut Ibu sebagai pria yang sangat baik, penyayang, dan pemaaf. Ibu bilang cintanya kepada Ayah bagai sungai yang tenang, hampir tak ada riak. Diceritakannya padaku bahwa Ayah adalah pria yang sangat setia, sabar, dan mudah memaafkan.
Kata Ibu, sepekan setelah aku lahir, justru Ayah yang memandikanku. Tangan Ayah sangat luwes memandikanku. Kata Ibu, masa-masa nifas membuatnya kesulitan merawat bayi sendirian. Selain Ayah, perawatan saat masa bayiku dibantu Mbok Semah, langganan orang-orang kampung untuk membantu Ibu dan bayi di pekan-pekan awal masa kelahiran.
Malam itu, tatkala aku melihat Ibu menangis sendirian di beranda rumah tua itu, Ibu menceritakan sebuah kenyataan yang mengguncangkan jiwaku. Tak hanya Ibu, kini aku yang menangis. Tak seperti biasanya ketika aku menangis, di masa-masa remajaku dulu aku selalu ricuh. Entah sekadar mengadukan soal sepatu yang disembunyikan teman sekelas sehingga harus pulang telanjang kaki, tangisku membuat seisi rumah panik. Ayah, Ibu, dan Mbak Lasi, tetangga yang kerap membantu Ibu bersih-bersih rumah.
Air mataku tak berhenti jatuh, dan bibirku terkatup rapat. Aku tidak percaya Ibuku yang kusaksikan sebagai perempuan cantik, anggun, dan santun ucapannya dalam berbahasa jawa itu memendam masa lalu yang kurasa sangat gelap. Sulit aku menerima kenyataan bahwa ibu menikah dengan ayah dalam keadaan mengandung dan akulah satu-satunya anak yang dilahirkan ibu.
“Siapakah lelaki itu, Bu?”
Serapat-rapatnya bibirku mengatup untuk menahan ucapan-ucapan mungkin juga umpatan untuk menyampaikan amarah dan kekecewaanku, hanya pertanyaan itu yang bisa kuucapkan. Aku tak berani menatap mata Ibu. Aku sendiri takut jika tatapanku akan menimbulkan perasaan yang tidak enak padanya.
“Fay, tidak ada yang salah dalam hal ini. yang patut kau ingat adalah Ayahmu satu-satunya lelaki yang pantas kau panggil Ayah”, kini sorot mata Ibu tajam tetapi mengembun penuh.
“Jika Ibu menceritakan tentang siapa lelaki yang menjadi Ayah biologismu sebelum Ibu dinikahi Ayahmu, ini hanya bertujuan agar engkau mengetahui fakta yang sebenarnya. Mungkin saja Ibu dipanggil Tuhan sewaktu-waktu, Ibu sudah tidak memiliki beban apa-apa padamu. Ibu juga tidak berharap engkau mencarinya, Fay”.
“Lelaki itu memang berhasil menawan pesona Ibu sehingga tidak bisa melihat lelaki lain selain dirinya. Kami bertemu setelah 3 tahun lulus kuliah dan kami sama-sama bekerja di sebuah perusahaan di bidang properti. Ibu di marketing dan dia seorang fotografer yang timnya dipakai perusahaan untuk keperluan pemasaran. Sejak itu kami sering bertemu”.
Suara Ibu serak beradu dengan angin yang makin dingin menyerbu beranda. Aku sudah tak lagi menangis, tetapi, hatiku membadai. Ibu belum berhenti menangis. Aku sendiri masih dilanda rasa penasaran, apa yang sudah disimpannya demikian lama sungguh menyesakkan.
“Ibu masih 24 tahun saat itu, Fay. Masih mudah terbang dengan rayuan-rayuan. Hingga melakukan hal yang tak pantas”.
Ibu tertunduk penuh sesal. Air matanya berlelehan. Lalu menegarkan diri menatapku dengan senyum yang dipaksa mengembang. Aku masih menunggu. Menunggu kisah itu karena aku terlibat dengannya. Akulah buah dari masa lalunya. Aku harus tahu bagaimana aku bermuasal.
“Bagaimana Ibu bertemu dengan Ayah?”
Suara kutekan sepelan mungkin agar tidak terkesan menginterogasinya. Tentu keingin tahuanku makin menjadi-jadi bahkan makin bergemuruh. Aku juga masih menunggu kelanjutan kisah itu.
“Ayahmu adalah lelaki yang hebat, sabar, dan gemati sama ibu. Menikahi Ibu dalam keadaan mengandung adalah pilihan yang berani. Ibu tahu Ayahmu melakukan hal ini karena rasa hormatnya pada kakekmu. Kakekmu yang membiayai sekolahnya sampai perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang baik”.
“Lebih dari sekadar balas budi dan rasa hormat, Ayahmu adalah lelaki yang benar-benar mencintai Ibu, bahkan di saat Ibu masih menunggu dan berharap pada lelaki yang harusnya bertanggung jawab atas kehamilan. Ayahmu merawat dan membimbing dengan sangat baik dan tulus sampai kami benar-benar melupakan apa yang telah terjadi pada masa lalu Ibu”.
Setelah itu tangis Ibu meledak bahkan suaranya makin keras. Jika saja halaman rumah tua ini tidak luas, tentu tangis ibu akan mengundang tetangga. Ibu memelukku erat dan tangisnya kubiarkan tumpah ruah. Ingatannya pada ayah membuatnya benar-benar melahirkan rasa sesal dan rasa bersalah.
Malam yang gelap dan dingin di beranda rumah saat itu terasa sangat berat dan panjang. Dingin menggigilkan tubuh kami. Jiwa dan hati kami berdua sangat lelah. Wajah sembap lalu mengering silih berganti. Menjelang dini hari, angin bertiup kencang dan gerimis jatuh membasahi beranda. Kami masih diam dan hanya beranjak masuk rumah. Menuju kamar Ibu, membantunya agar ia bisa rebah beristirahat. Aku sendiri makin resah. Banyak hal yang kupikirkan setelah malam ini. ****
Mojokerto, 10 Oktober 2023
14.32.
BIONARASI
Fatatik Maulidiyah merupakan guru di MAN 2 Mojokerto, penulis esai dan artikel di berbagai media online dan digital.Telah menulis buku cerpen, Perempuan yang dicintai Suamiku (2021), Emak (2021) dan Kuntum-kuntum Kamboja (2022). Penulis juga aktif dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan literasi secara daring maupun luring. Untuk mengenal lebih dekat bisa menghubungi Fb.Ummu Hasan (Fataty Maulidiyah), Email fataty@gmail.com, dan WA. 085604800283. Penulis tinggal di Kota Mojokerto.