Kekasih

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

RAMADAN sudah pergi. Lebaran tiba. Engku Siak mengibaratkan bulan suci itu seperti seorang kekasih yang dirindukan, lalu ketika ia pergi, bagi orang yang sedang berkasih-kasihan, muncul ibanya sebab rindu yang tak ingin berkesudahan.

“Baru bersua, saling mengasihi, tiba-tiba harus berpisah saja, Engku,” ujar Engku Siak, siang itu, ketika ikut berhalal bihalal di lepau teh telur Engku Raoh di Simpang Lapan. Di sana ada Engku Kari, Engku Sut, Engku Lah, Engku Brahim, Engku Rang, dan beberapa lainnya.

Engku-engku itu tafakur, merenungi tausyiah Engku Siak yang meresap masuk ke sanubari mereka.

Engku Sut, meski keras orangnya, tetapi lunak hatinya. Tampak kedua bola matanya yang berada di bawah keningnya yang sering berlipat empat itu berkaca-kaca. Ia turut merasakan kepergian Ramadan. Entah bersua entah tidak lagi di tahun depan.

Tentu, bagi yang merasa kekasihnya itu sangat ia cintai, berat untuk ditinggalkan, atau membiarkan kekasihnya itu pergi. Namun, tak sedikit yang menyia-nyiakan kehadiran sang kekasih ketika seharusnya saling membutuhkan, memberi, dan menerima, memungut kebahagiaan bersama. Barulah, ketika kekasihnya itu pergi, terkejut ia, terpekik, kenapa waktu cepat sekali berlalu, gumamnya.

“Demikianlah keadaan manusia, ketika sudah tiada, baru terasa. Ketika masih ada, sering disia-siakan,” ujar Engku Siak lagi, mengibaratkan banyak amalan selama Ramadan yang terkadang tak terkerjakan dengan seharusnya, sebab pengaruh dunia lebih kuat dari hasrat mengejar akhirat. Padahal, doa sapu jagat menyuruh menyeimbangkan antara kebahagiaan dunia dan akhirat.

Engku Kari sendiri merasakan kepergian Ramadan. Tentu, ia ikut terbawa iba. Selain ibadah di dalamnya yang tak ditemui di luar Ramadan, semisal salat tarawih dan segala keutamaan ibadah sunah lainnya yang diganjar pahala berkali lipat, kuliner selama Ramadan pun membekas di kepalanya. Anehnya, di luar Ramadan, kuliner itu jarang dijumpai.

Misal, ketika Engku Kari kecil dibawa merantau oleh gaeknya ke bumi Tanah Rencong; Aceh, salah satu penganan berbuka paling ia sukai adalah timun Suri. Orang Aceh mengenalnya sebagai timun Aceh.

“Ini timun Suri, antarkan ke dapur. Suruh emak kau bikin minuman untuk berbuka,” seru Abak Engku Kari kecil, berpuluh tahun lampau ketika ia tinggal di sebuah kampung pesisir di Aceh.

Timun itu berbungkus pelepah pisang. Khas sekali kemasannya.

Bergegas Engku Kari kecil menyambut buah timun itu. Buahnya besar dan segar. Sebesar badan pepaya jumbo. Warna kulitnya hijau kekuningan. Kalau dikubak isinya, ondeh, terbit air liur. Kadang terbawa mimpi pula.

Emak Engku Kari pandai benar meracik buah timun itu, seperti Engku Raoh, lihai meracik teh telur. Emak Engku Kari mengorek isi timun itu pakai sendok, kemudian dimasukkan ke dalam ceret plastik. Agar lezat, dicampurnya sirup, lalu dimintanya Engku Kari membeli es batu ke lepau. Timun, sirup, es batu, bercampur jadi satu.

Ketika minuman itu sudah terhidang, dan beberapa menit menjelang berbuka, Engku Kari kecil duduk mentafakuri gelas berisi timun di meja kayu usang. Berpangku kedua tangannya di bibir meja, ia tompangkan wajah dengan kedua bola mata yang tak lepas melihat hidangan di hadapannya.

Menit-menit menjelang berbuka itu menjadi momen paling ditunggu-tunggu Engku Kari kecil. Namun, lama menunggu, beduk belum juga dipukul Engku Bilal di meunasah (surau), dan menit terasa sejam-dua jam. Lambat benar waktu berlalu.

Sebentar-sebentar ditengoknya jarum jam dinding berjambul yang setiap waktu berdentang. Ketika beduk sudah benar-benar berbunyi di surau, melompatlah dia menyambar gelas berisi timun Aceh itu. Sekali-dua kali teguk, tandas minuman itu melewati tenggorokannya, terus masuk ke lambungnya yang bagaikan karet lebarnya, menampung minuman dan makanan apa saja. Sesudah kenyang, terbit sendawanya. “Uoookkk ….!” Lega.

Jika melihat perangainya itu, abak dan emak Engku Kari hanya dapat geleng-geleng kepala saja. “Tak elok kau makan minum terburu-buru. Pelan-pelanlah. Tersedak kau nanti,” nasihat Emaknya. Engku Kari kecil mengangguk, tapi besok diulanginya lagi perangainya itu.

Setelah tahun-tahun paling membahagiakan itu berlalu, dan abaknya sudah pergi pula ke alam baka, tak balik-balik lagi, barulah terkenang di benak Engku Kari tentang kebahagiaan masa kecil yang tak dapat diulanginya lagi. Suasana perkampungan yang damai, rumah di tengah sawah yang di anak-anak airnya banyak lele dan belut, serta kawan-kawan masa kecil yang lucu dan selalu bergembira, tak dapat ia lupakan sepanjang waktu. Kenangan itu telah menjadi kekasih di hatinya yang telah tiada, tak lagi dapat bersua.

Dia ingat bagaimana abaknya mengayuh sepeda onta tua belasan kilometer ke kota hanya untuk membeli timun Aceh, semata untuk membujuk dirinya agar mau penuh berpuasa, tak boleh bolong-bolong.

“Kau sembahyang bisa dilihat orang, tapi puasa, hanya kau dan Allah saja yang tahu. Jujurlah, jangan sekali-kali kautinggalkan yang wajib jika masanya sudah tiba,” nasihat Abaknya setiap kali Ramadan datang.

Engku Kari tercenung. Ingat ia almarhum abaknya, kekasih hatinya. Allahummaghfirlahu warhamhu … Dan, kedua bola matanya berkaca-kaca ketika gema takbir berkumandang di surau dan masjid, bersahut-menyahutan, mengagungkan nama Tuhan, di hari lebaran.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca