Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Sastra

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Riri Satria

PERLUKAH kita—terutama para sastrawan atau penulis sastra: penyair, cerpenis, novelis—takut menghadapi perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan? Apakah sastrawan menjadi pihak yang diatur (obyek), atau justru yang mengatur (subyek)? Bagaimana dunia sastra menghadapi semua perkembangan ini? Apakah dampak lain yang ditimbulkan selain semakin canggihnya medium of delivery atau omnichannel berbagai karya sastra? Apakah benar para sastrawan akan kehilangan pekerjaannya akibat perkembangan ini? Apakah sastrawan yang tunduk kepada AI dalam menulis, atau justru AI tersebut yang harus mereferensi kepada para sastrawan? Apa kaitannya dengan karunia Tuhan kepada manusia yaitu high order thinking skills (HOTS) serta low order thinking skills (LOTS)? Lantas apakah yang harus dilakukan para sastrawan? Tulisan ini mencoba membahasnya dengan mengambil salah satu bidang sastra, yaitu puisi sebagai studi kasus.

Kecerdasan Buatan (AI) dan Sejarahnya

Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mesin berhasil mengalahkan pecatur top dunia dalam sebuah pertandingan catur. Saat itu supercomputer IBM Deep Blue berhasil mengalahkan juara catur dunia, Gary Kasparov, dalam sebuah pertarungan legendaris di New York yang berlangsung dalam beberapa putaran. Ini adalah sebuah perjalanan panjang dalam penelitian di bidang kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) selama 39 tahun, khususnya dalam algoritma permainan catur. Ini menjadi berita besar saat itu, Gray Kasparov dikalahkan mesin!

Sekadar melihat sejenak ke sejarahnya, pada tahun 1958, untuk pertama kalinya dibuat program komputer yang mampu bermain catur pada mainframe IBM 704. Saat itu, penelitian di bidang kecerdasan buatan baru saja dimulai, dan impian dari penelitian ini salah satunya adalah membuat mesin yang mampu bermain catur seperti halnya manusia, tentu saja dengan meniru kecerdasan manusia, atau dengan kata lain membuat suatu sistem yang disebut kecerdasan buatan. Kecerdasan ini disebut buatan karena yang hakiki itu milik manusia. Saat itu para pacatur top dunia menertawakan proyek ini dan mengatakan tidak akan mungkin komputer bisa mengalahkan manusia dalam bermain catur.

Akhirnya sejarah menunjukkan kepada kita bahwa komputer butuh 39 tahun sejak pertama kali belajar main catur sampai akhirnya sanggup mengalahkan manusia setingkat juara catur dunia.

Nah, kalau fenomena ini kita bawa ke dunia sastra, di mana pada tahun 2016 proyek penelitian kecerdasan buatan di Google berhasil membuat puisi, butuh berapa lama ke depannya komputer belajar membuat puisi sehingga mampu ‘mengalahkan’ penyair kelas dunia? Sungguh ini sebuah pertanyaan yang mengusik saya sebagai seorang pencinta sekaligus penulis sastra (terutama puisi) yang memiliki latar belakang pendidikan dan profesi di bidang ilmu komputer atau computer science serta teknologi digital atau digital technology.

Bahkan kalau ditelusuri ke belakang lebih jauh, penelitian mengenai komputer yang mampu menulis puisi ini sudah berlangsung lama. Pada tahun 1999, sahabat saya Ruli Manurung mempublikasikan tulisannya berjudul “A Chart Generator for Rhythm Patterned Text” yang kemudian menjadi disertasi doktornya di University of Edinburg tahun 2004 dengan judul “An Evolutionary Algorithm Approach to Poetry Generation”. Rangkuman mengenai kemajuan penelitian komputer yang mampu membuat puisi ini dirangkum oleh Hugo Gonc ̧alo Oliveir dari Universidade de Coimbra, Portugal, dalam tulisannya “Automatic Generation of Poetry: An Overview” tahun 2014. Semua ini adalah penelitian yang dilakukan untuk membuat algoritma kecerdasan buatan yang mampu menulis puisi.

Studi Kasus Dunia Puisi: Generative AI dan Penciptaan Karya

Aplikasi komputer daring yang bisa membuat puisi dapat dipergunakan secara gratis di internet adalah poemgenerator.org.uk, aipoemgenerator.org, serta banyak lagi yang lain. Kita bisa memilih berbagai bentuk puisi yang diinginkan, memasukkan beberapa parameter sebagai input, lalu klik, dan puisi pun selesai dibuat. Namun masih ada beberapa yang menarik untuk diamati. Untuk input yang sama, komputer bisa memberikan beberapa alternatif puisi.

Pada awalnya semua puisi yang dihasilkan masih sangat kaku, bahkan lebih kaku jika dibandingkan dengan orang awam yang baru pertama kali belajar menulis puisi. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, teknologi AI juga belajar mengenai perpuisian, sehingga semakin lama puisi yang dihasilkan semakin bervariasi wujudnya, bahasanya, serta semakin ‘puitis’. Algoritma AI itu belajar, yang dikenal dengan proses yang dikenal dengan nama machine learning, dan berkembang semakin canggih menjadi deep learning yang mengadopsi pola berpikir pada sistem syaraf manusia, dikenal dengan nama neural network. Begitulah perkembangan teknologi AI yang semakin dahsyat.

Ada dua teknologi yang mendorong terwujudnya computer-generated poetry atau puisi yang diciptakan oleh komputer ini, terdiri dari satu teknologi utama, yaitu kecerdasan buatan serta satu teknologi pendukung, yaitu basis data berskala besar atau big data. Dengan teknologi kecerdasan buatan, komputer bisa melakukan pembelajaran terhadap fakta berupa data yang diberikan (machine learning serta deep learning). Dengan demikian, sistem komputer berbasis kecerdasan buatan ini terus-menerus memperbaharui pengetahuannya. Nah, gawat kan, ketika manusia berhenti belajar? Bisa jadi akan ‘ketinggalan cerdas’ dibandingkan komputer.

Inilah yang dilakukan komputer sebelum berhasil mengalahkan Gary Kasparov dalam pertandingan catur. Dia terus-menerus belajar dari berbagai kekalahannya melawan para pecatur top dunia. Demikian pula dengan puisi. Setiap ada puisi yang baru, komputer akan belajar dan memperbaharui pengetahuannya tentang perpuisian. Melalui algoritma AI, komputer akan melakukan sintesis pengetahuan yang dimilikinya dan merumuskan langkah-langkah ke depan (untuk main catur) serta memilih diksi dan menyusun bait-bait (untuk puisi). Ini yang dimaksud dengan generative artificial intelligence atau generative AI, di mana dia mampu menyusun (generate) pola-pola baru dari apa yang dia ‘pelajari’ sebelumnya.

Pada awal tahun 2020 yang lalu, sebuah lembaga penelitian teknologi kecerdasan buatan di San Fransisco, AS, bernama OpenAI, mempublikasikan sebuah puisi yang mirip dengan gaya penulisan penyair Emily Dickinson, yang dibuat menggunakan aplikasi kecerdasan buatan GPT-2. GPT sendiri adalah singkatan dari Generative Pre-trained Transformer yang merupakan wujud nyata dari konsep generative AI. Aplikasi GPT-2 ini sudah mempelajari sebagian besar puisi karya Emily Dickinson, dan akhirnya mampu menemukan gaya penulisan khas Emily. Lalu, akhirnya dia pun mencoba membuat puisi dengan meniru gaya Emily Dickinson. GPT-2 inilah yang kemudian berkembang menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan ChatGPT.

Dengan demikian, komputer membuat puisi dengan menggunakan pola dan bahasa yang diajarkan kepadanya. Jadi walaupun komputer ini melakukan ‘kreativitas’, namun itu adalah kreativitas yang algoritmik, bukan kreativitas yang sebenarnya. Aplikasi GPT-2 ternyata mempelajari pola-pola puisi Emily Dickinson, maka puisi yang dihasilkannya pun memiliki pola Emily Dickinson. Kita bahkan bisa mendeteksi bahwa puisi-puisi yang dihasilkan GPT-2 tersebut mengadopsi pola-pola khas penyair tertentu, misalnya Robert Frost, Emily Dickinson, atau Whitman.

Untuk dapat melakukan itu semua, komputer membutuhkan penyimpanan data yang besar, yang mampu menyimpan data dalam volume besar, berbagai bentuk atau format, serta dapat diakses dengan cepat, dan ini didukung oleh teknologi big data. Untuk proses pembelajaran komputernya agar bisa membuat puisi lebih baik dan lebih baik lagi, big data perpuisian Google menyimpan jutaan puisi yang ditulis sejak zaman dahulu.

Penciptaan Puisi dan Algoritma

Secara generik atau garis besarnya—yang saya simpulkan dari berbaai literatur—proses penciptaan puisi oleh manusia itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi. Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, komtemplasi atau pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi. Sementara itu komputer melakukan keempat proses itu secara matematik, mekanistik, atau algoritmik, tentu saja tanpa melibatkan rasa atau proses batiniah apa pun.

Tetapi jika sudah berwujud akhir puisi, apakah bisa dibedakan mana yang diciptakan komputer, serta mana yang dibuat manusia? Ini sebuah pertanyaan yang susah untuk dijawab, namun menarik untuk dicari jawabannya.

Suatu saat saya ingin melakukan eksperimen. Saya kumpulkan sejumlah kurator atau kritikus puisi, lalu saya minta mengevaluasi sejumlah puisi, separuh buatan manusia, separuh buatan aplikasi AI. Apakah mereka bisa membedakannya? Tetapi pada akhirnya wawasan si kurator atau kritikus harus luas. Menurut saya, jangan-jangan proses kurasi puisi di masa depan harus dilakukan bekerja sama dengan pihak yang memiliki big data perpuisian seperti Google.

Berbagai permasalahan pada puisi yang dibuat mesin ini terletak kepada keterpakuan kepada bahasa, kosa kata, serta sintaks. Mesin menyusun sebuah puisi berdasarkan pengetahuan yang dia miliki dalam wujud bahasa, kosa kata, dan sintaks tersebut, atau aspek linguistik semata. Mesin tidak memiliki pengetahuan tentang dunia nyata dan imajinasi atau the knowledge of reality and imagination yang dimiliki manusia ketika membuat puisi. Puisi bukanlah sekadar konstruksi bahasa, melainkan memberi ruh kepada bahasa tersebut melalui realitas dan imajinasi. Inilah kelemahan mesin, setidaknya sampai saat ini.

Menurut saya, dunia kesenian secara umum—termasuk perpuisian—menganut prinsip if you wanna create art, you have to break the rules, and it’s not just breaking it. So to be able to break the rules you have to really know it deeply first. Kreativitas itu adalah keluar dari struktur atau ‘aturan’ yang ada, namun tentu saja kita harus paham dengan baik bagaimana struktur atau ‘aturan’ itu terlebih dahulu. Kita menabrak struktur atau ‘aturan’ untuk menghasilkan kreativitas yang baru, bukan membangun struktur baru di atas struktur lama yang mirip dengan dunia engineering.

Nah, jika puisi itu diperlakukan seperti dunia engineering, maka lama-kelamaan teknologi kecerdasan buatan akan mengambil alih itu semua. Sesuatu yang dapat dipelajari struktur dan polanya, dapat dibuat algoritma, dan akhirnya dapat dikerjakan oleh mesin. Jika ini terjadi, maka dunia perpuisian berpindah ranah, dari dunia seni menjadi dunia engineering. Jika ini terjadi, maka berakhirlah dunia perpuisian atau kepenyairan yang penuh dengan nuansa kemanusiaan yang kita kenal saat ini.

Perkembangan terakhir adalah, kisah sebuah mesin AI bernama Code-davinci-002 yang dibuat oleh OpenAI dan pertama kali dipergunakan tahun 2021. Ini adalah salah satu cikal bakal aplikasi ChatGPT. Mesin ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan code dalam berbagai bahasa pemrograman komputer yang pada awalnya dimaksudkan untuk aktivitas software development, namun belakangan ternyata merambah ke dunia puisi yang dibuat dari sebuah teks deskriptif yang dikenal dengan istilah prompt. Belakangan Code-davinci-002 diminta untuk menuliskan “pengalaman hidupnya sendiri”, mulai sejak diciptakan, tugas-tugas yang diberikan, pandangannya terhadap manusia serta kehidupan, dan sebagainya.

Semua pengalaman itu dituliskan dalam bentuk puisi, dan dirangkum dalam buku “I am Code: Poetical Autobiography by Code-davinci-002”. Jadi buku “I am Code” adalah buku “autobiografi Code-davinci-002” dalam bentuk puisi, yang “dia tulis sendiri”. Semua proses ini dibantu oleh 3 orang di belakang mesin ini, yaitu Brent Katz, Josh Morgenthau, dan Simon Rich. Jad ternyata AI sudah mampu menuliskan “pengalaman hidupnya sendiri” atau “autobiografinya” dalam bentuk puisi.

Tantangan Manusia: Meningkatkan Kapasitas Dirinya

Lalu bagaimana selanjutnya? Kita harus membuka ruang-ruang kreativitas yang baru yang merupakan keunggulan manusia yang tak pernah bisa tergantikan oleh mesin. Inilah peluang kita untuk mempertegas mana porsi mesin dan mana porsi manusia. Semua ini menantang kita untuk menjaga marwah perpuisian atau karya sastra pada umumnya menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian, para penyair harus mampu menjawab tantangan tersebut, bukan hanya sebatas membuat puisi, melainkan jauh lebih fundamental. Misalnya isu etika, apakah menggunakan komputer untuk membantu membuat puisi itu melanggar etika atau tidak? Apakah puisi yang dihasilkan mesin itu juga dapat disebut puisi? Inilah tantangan ke depannya.

Jadi, perkembangan AI yang mampu membuat puisi memberikan tantangan kepada dunia perpuisian atau kepenyairan, mulai dari tantangan teknis, sampai kepada hal yang fundamental, yaitu tantangan filosofis dan etika. Inilah yang harus dijawab bersama. Kita tidak lagi pada porsi menahan lajunya perkembangan teknologi, melainkan menyikapi perkembangan teknologi dengan arif dan bijaksana, dan tentu saja dengan pemikiran dan catatan kritis, termasuk dalam dunia perpuisian dan kepenyairan.

Menurut teori Taksonomi Bloom, manusia itu dikarunai Tuhan sebanyak enam tingkatan kemampuan berpikir, yaitu remembering (mengingat atau menghafal), understanding (memahami), applying, (menggunakan dengan tepat) analysing (menganalisis), evaluation (mengevaluasi), serta creating (mencipta). Tiga yang pertama disebut dengan istilah LOTS atau low order thinking skills, sedangkan tiga yang kedua disebut dengan HOTS atau high order thinking skills. Sejatinya manusia tentu harus memaksimalkan karunia Tuhan ini, namun perjalanan hidup orang per orang membuat ada yang bisa memaksimalkan, ada yang setengah maksimal, serta ada yang tidak maksimal.

Nah, munculnya AI akan menjadi masalah buat mereka yang hanya berhenti pada LOTS dan tidak mampu memaksimalkan HOTS. Namun, bagi mereka yang sanggup memaksimalkan HOTS, harusnya tidak menjadi masalah, bahkan bisa menjadi alat bantu bekerja untuk produktivitas dan kinerja yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian saatnya mengasah kemampuan HOTS kita sejak dari anak-anak. Jangan lagi jejali anak-anak kita dengan hanya sekadar menghafal, melainkan sampai dengan mengembangkan kemampuan HOTS yang tentu saja disesuaikan dengan perkembangan mereka.

Saya percaya betul dengan prinsip human intelligence is above artificial intelligence. Dengan demikian masih dibutuhkan sentuhan manusia dengan High-Order Thinking Skills (HOTS) untuk hal ini. Namun, AI dan teknologi lainnya memang akan menjadi persoalan bagi manusia yang tidak mampu mengembangkan kapasitas dirinya, sehingga kemampuan-kemampuan yang dia miliki sudah kalah dengan mesin. Kemampuan tertinggi manusia itu adalah kreativitas dan berinovasi, ini yang sulit untuk ditiru oleh teknologi apa pun. Jadi, teknologi kecerdasan buatan kita perlakukan sebagai tools atau alat bantu saja, bukan sebagai end-result. Ini berarti campur tangan manusia tetap diperlukan. Prinsipnya mesin yang harus belajar kepada manusia, bukan manusia yang diatur oleh dalam proses kreativitas.

Saat ini, selain teknologi AI yang mampu menciptakan puisi, tantangan besar sekaligus peluang besar teknologi digital dan internet dalam dunia perpuisian serta kepenulisan secara umum adalah sebagai medium of transfer. Dalam hitungan menit bahkan detik tulisan kita bisa dibaca oleh ribuan atau bahkan mungkin jutaan orang di berbagai belahan dunia. Semua orang bisa menulis apa saja menggunakan berbagai media di internet. Tidak masalah menulis dengan menggunakan media apa pun di internet, namun tetaplah menjaga kualitas tulisan. Tulisan yang buruk cepat atau lambat akan merusak nama penulis. Ingat, tulisan adalah jati diri. Jadi kata kuncinya tetap di menjaga kualitas tulisan. Untuk dunia perpuisian, mau digital atau pun tidak, tetaplah dibutuhkan kurator semacam proses quality control untuk menilai kualitas.

Media sosial adalah buku harian atau diary yang sangat besar di dunia saat ini yang isinya bisa apa saja, mulai dari ilmu pengetahuan sampai tulisan sampah, mulai dari ibadah sampai maksiat, mulai dari pencerahan sampai yang menyesatkan seperti hoax. Jadi, diperlukan suatu proses yang mengawal kualitas tulisan supaya dapat diteladani bersama dengan baik.

Selain itu juga banyak terdapat dampak lain dari perkembangan teknologi digital dan internet terhadap dunia kepenulisan, yaitu munculnya tulisan dalam bentuk hypertext yang hampir tidak mungkin dibuat dalam bentuk buku cetak kertas, pergeseran selera masyarakat ke arah multimedia walau teks tetap menjadi jantung kepenulisan, topik-topik tulisan yang mulai marak mengenai era digital dan masyarakat cerdas 5.0, terbentuknya jejaring global ekosistem kepenulisan, serta peranan tulisan sastra untuk ikut mengawal peradaban seperti pencapaian 17 sararan strategis sustainable development goals atau SDG pada tahun 2030 untuk kesejahteraan umat manusia.

Jadi, jangan takut! Manusia itu lebih cerdas dan lebih kreatif daripada mesin, kecuali kalau tidak mau belajar, pasti akan kalah dari mesin! Penyair (atau penulis secara umum) yang baik adalah pembaca yang baik, yaitu membaca dalam pengertian yang luas, yaitu belajar. Bukankah wahyu pertama yang turun itu adalah perintah membaca atau iqra’? Demikian pentingnya membaca untuk menambah wawasan dan kecerdasan dalam ajaran Agama Islam. Peranan HOTS menjadi sangat penting ke depannya. Jika AI mampu belajar dengan mekanisme machine learning bahkan deep learning, sejatinya Tuhan menganugerahi manusia jauh lebih dahsyat daripada itu, tinggal mau dimanfaatkan secara optimal atau tidak.

Mengutip pernyataan Imam Syafii: jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan. Ini dapat diterjemahkan: jika kamu enggan untuk terus-menerus belajar, maka suatu saat kamu akan dikalahkan oleh mesin yang namanya AI, dan itu akan menyakitkan dan membahayakan.

High Tech, High Touch: Menjaga Nilai Kemanusiaan

Saya ingin mengutip perkataan John Naisbitt, penulis buku High Tech High Touch, di mana perkembangan teknologi yang tinggi (high tech) tidak akan bisa dibendung karena ini adalah bagian dari perkembangan peradaban itu sendiri, namun semua itu harus diiringi dengan sentuhan manusiawi yang semakin tinggi (high touch) supaya semua membawa kemasalahan untuk kehidupan umat manusia.

Banyak yang mengatakan bahwa dengan perkembangan teknologi digital termasuk kecerdasan buatan saat ini, aspek-aspek kemanusiaan mulai memudar. Ini diamini oleh banyak pakar dan budayawan. Namun Chris Skinner –penulis buku Digital Human, memandangnya dari sisi lain, di mana aspek kemanusiaan tidak memudar, tetapi bertransformasi menuju fourth revolution of humanity yang dikenal dengan istilah digital human. Chris Skinner memisahkan dua hal, yaitu antara nilai-nilai dasar kemanusiaan serta aspek-aspek teknis dalam kehidupan.

Nah, nilai-nilai dasar seperti cinta kasih, kebersamaan, dan sebagainya, tidak akan hilang. Namun, wujud teknisnya sehari-hari itulah yang mengalami perubahan, misalnya kebersamaan atau gotong royong dalam meringankan beban sesama. Dulu, dilakukan dengan mengumpulkan donasi atau barang-barang bantuan di balai desa, sedangkan saat ini dilakukan melalui crowdfunding dengan memanfaatkan media sosial. Prinsip dasarnya sama, hanya teknis operasionalnya yang berubah akibat perkembangan teknologi.

Setiap munculnya teknologi baru, pasti akan menimbulkan kegamangan atau anxiety dari para generasi yang merasa itu sudah bukan zaman mereka lagi. Ada perasaan takut tersingkir. Bahkan dulu di kampung saya, televisi sempat dianggap barang haram karena dianggap menjauhkan anak-anak dari masjid, karena sore hari disiarkan film kartun Scooby Doo bertepatan dengan jam anak-anak mengaji di masjid. Namun, seiring berjalannya waktu, tatanan baru akan terbentuk, dan hal-hal baru menjadi sesuatu yang biasa. Dulu televisi membuat orang lupa waktu dan bisa berlama-lama duduk di depan layar kaca itu. Lama-kelamaan bosan juga dan ditinggalkan. Televisi sudah tak menarik lagi, maka, kini muncul internet. Kondisinya kurang lebih sama, tetapi pada akhirnya akan membosankan juga.

Respon Pemerintah RI terhadap Perkembangan AI

Kementerian Kementerian Komunikasi dan Informatika RI melalui Siaran Pers No. 583/HM/KOMINFO/12/2023 tanggal 22 Desember 2023 menyampaikan Surat Edaran (SE) Etika Kecerdasan Artifisial, yang resmi ditandatangani tanggal 19 Desember 2023. Mengutip siaran pers tersebut dikatakan bahwa popularitas penggunaan dan pemanfaatan ekosistem teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial di Indonesia mendorong Pemerintah menghadirkan Pedoman Etika penggunaan AI agar lebih aman dan produktif. Siaran Pers itu juga menyebutkan bahwa SE tersebut tidak mengikat secara hukum, namun jika ada penyalahgunaan teknologi atau data pribadi, tentu akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta perubahannya dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

SE tersebut memuat tiga kebijakan, yaitu nilai etika, pelaksanaan nilai etika, dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan artifisial. SE tersebut ditujukan kepada pelaku usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial pada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup publik dan privat. Sedangkan terkait kebijakan nilai etika AI, SE tersebut menegaskan nilai inklusivitas, aksesibilitas, keamanan, kemanusiaan, serta, kredibilitas, dan akuntabilitas dalam pemanfaatan AI. Setidaknya SE ini menjawab sebagian pertanyaan orang mengenai praktik pengembangan serta penggunaan AI sehari-hari di Indonesia. Dengan demikian ini perlu diberikan apresiasi. Apalagi ada disebutkan dan dijelaskan nilai inklusivitas, aksesibilitas, keamanan, kemanusiaan, serta, kredibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan AI, walaupun kita masih membutuhkan penjelasan yang lebih rinci dan perangkat regulasi yang lebih menikat secara hukum.

Kesimpulan dan Penutup

Sebagai penutup saya menegaskan bahwa, kecerdasan buatan itu adalah buatan, bukan kecerdasan hakiki yang dimiliki manusia. Dengan demikian, tetap manusia yang memegang kendali, manusia yang mengatur dengan memaksimalkan HOTS. Manusia itu adalah subyek, bukan obyek. Namun bencana akan mendatangi manusia yang hanya memiliki kapasitas setingkat LOTS. Sesuai dengan prinsip generative AI, maka dia butuh referensi untuk membuat struktur atau pola. Maka AI itu mereferensi kepada manusia, bukan sebaliknya. Manusia seperti apa? Yaitu yang mampu memaksimalkan HOTS, bukan hanya sekadar LOTS. Pemerintah wajib hadir untuk mengatur AI ini, karena tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk memahami teknologi ini.

Untuk dunia perpuisian, para penyair harus membuka ruang-ruang kreativitas yang baru yang merupakan keunggulan manusia yang tak pernah bisa tergantikan oleh mesin. Mesinlah yang nanti akan belajar kepada para penyair seperti halnya GPT-2 yang belajar kepada puisi karya Robert Frost, Emily Dickinson, serta Whitman. Inilah pentingnya memaksimalkan HOTS. Namun, untuk para penyair yang tidak mampu memaksimalkan HOTS dan merasa sudah nyaman dengan HOTS, maka lama kelamaan posisinya akan digantikan oleh mesin yang bernama AI. (*)

(Makalah ini disampaikan dalam diskusi bertajuk “Artificial Intelligence dan Masa Depan Sastra” pada kegiatan Malay Writers And Cultural Festival (MCWF) 2024, Rabu, 16 Oktober 2024, di ruang Teater Arena Taman Budaya Jambi).

RIRI SATRIA
Lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970 adalah Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM). Puisinya sudah diterbitkan dalam empat buku kumpulan puisi tunggal: Jendela (2016), Winter in Paris (2017), Siluet, Senja, dan Jingga (2019), Metaverse (2022), serta buku puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul Algoritma Kesunyian (2023). Di samping itu, puisinya juga dipublikasikan pada lebih dari 70 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya. Selain menulis puisi, Riri Satria juga menulis esai di berbagai media dan sudah diterbitkan dalam lima buku kumpulan esai dengan topik beragam: sains dan matematika, teknologi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, sosial budaya, serta sastra (terutama puisi). Buku esainya adalah: Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis (2003), trilogi Proposisi Teman Ngopi (2021) yang terdiri tiga buku Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital, Pendidikan dan Pengembangan Diri, dan Sastra dan Masa Depan Puisi; serta Jelajah (2022). Sehari-hari Riri Satria berprofesi di bidang ekonomi digital, teknologi digital, serta transformasi digital, Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Komisaris Utama pada sebuah BUMN PT. ILCS Pelindo Solusi Digital (PSD) sebuah perusahaan teknologi dalam lingkungan Pelabuhan Indonesia (Pelindo), Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), di samping sebagai penasihat ahli di berbagai perusahaan dan instansi pemerintahan. Riri Satria sering diundang sebagai narasumber untuk berbagai seminar dan konferensi di kalangan industri atau bisnis, instansi pemerintahan, serta perguruan tinggi, termasuk pada program pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI.

Editor: MUHAMMAD SUBHAN

 

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca