Oleh Rissa Churria
SEJAK kemarin siang saya mengikuti kegiatan diskusi pada Jakarta Content Week yang sangat bagus dan memberi spirit serta dorongan kreativitas dan inovasi bagi pelaku industri kreatif di era teknologi yang makin dahsyat dan tak terbendung.
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia secara fundamental. Kini, kita memasuki era baru yang ditandai dengan kebangkitan kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini tidak hanya menciptakan efisiensi dan otomatisasi di berbagai sektor, tetapi juga mulai merambah ke ranah yang sebelumnya dianggap eksklusif bagi manusia, yaitu seni dan kebudayaan.
Kehadiran AI dalam kehidupan sehari-hari bukan lagi sekadar kisah fiksi ilmiah. Di rumah, asisten virtual seperti Alexa, Siri, dan Google Assistant telah menjadi “anggota keluarga” yang membantu mengelola rutinitas, memberikan informasi, dan bahkan menghibur. Di tempat kerja, AI mendukung otomatisasi proses bisnis, analisis data, dan pengambilan keputusan yang lebih cerdas. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, AI juga mulai memasuki area yang lebih subtil, rijit, spesifik, dan kompleks, yaitu seni dan kebudayaan.
Seni telah lama dianggap sebagai bentuk ekspresi tertinggi manusia. Melalui seni, kita menyampaikan emosi, cerita, dan identitas kita. Kini, AI muncul sebagai alat baru yang mampu mencipta karya seni, bukan hanya meniru atau me-replikasi, tetapi juga menciptakan sesuatu yang orisinal. Menurut pengamatan saya, beberapa cara AI yang telah mengubah seni di berbagai bidang, di antaranya adalah:
AI dalam Penulisan dan Puisi dari Kata Menjadi Makna
AI telah menunjukkan kemampuannya dalam bidang penulisan, terutama dalam menciptakan puisi. Dengan menggunakan algoritma pemrosesan bahasa alami (NLP), AI dapat menganalisis pola, rima, dan struktur puisi untuk kemudian menghasilkan karya baru. Salah satu contohnya adalah penggunaan GPT-3, model bahasa yang canggih, yang mampu menulis puisi dengan kualitas yang mengesankan.
Tidak hanya terbatas pada puisi, AI juga digunakan dalam penulisan naskah, cerita pendek, dan bahkan novel. AI Dungeon, misalnya, adalah game yang memungkinkan pemain berkolaborasi dengan AI untuk menciptakan cerita interaktif yang berkembang berdasarkan pilihan pemain.
AI dalam Musik: Komposer Digital
Musik adalah salah satu bentuk seni yang sangat dipengaruhi oleh emosi dan intuisi manusia. Namun, AI telah membuktikan bahwa ia juga mampu menjadi komposer yang handal. Program AI seperti Amper Music, AIVA, dan OpenAI Jukebox memungkinkan pengguna menciptakan musik yang orisinal dengan hanya memberikan sedikit input, seperti genre, mood, atau instrumen yang diinginkan. AI kemudian mengolah informasi ini dan menghasilkan komposisi musik yang sesuai.
Salah satu contoh paling menarik adalah album “Hello World” yang dirilis oleh SKYGGE sebuah proyek musik yang dibuat sepenuhnya oleh AI. Album ini menampilkan berbagai genre dan gaya musik, menunjukkan bahwa AI dapat menjadi alat yang kuat dalam eksplorasi kreatif di dunia musik.
Saya juga telah membuktikan dengan beberapa rekan yang lain, teknologi AI sanggup mengubah karya puisi menjadi lagu. Saya menggunakan aplikasi produk Geogle Suno.com dalam hal ini yang dapat digunakan secara gratis. Puisi saya berjudul “Berbisik Pada Laut” telah digubah AI menjadi lagu yang syahdu, bahkan membuat saya terhanyut ketika mendengarkannya. Lagu puisi ini telah saya unggah di media sosial saya, Facebook saya https://www.facebook.com/share/v/SZFRLVMvVX9eaEWo/?mibextid=qi2Omg
AI dalam Seni Visual Kanvas Digital dengan Kecerdasan Buatan
Di dunia seni visual, AI telah membuka pintu bagi inovasi yang luar biasa. Dengan deep learning dan teknik style transfer, AI dapat menciptakan lukisan yang meniru gaya seniman terkenal atau bahkan menciptakan gaya baru yang unik. DeepArt dan Prisma adalah contoh aplikasi yang memungkinkan pengguna mengubah foto menjadi karya seni dalam gaya seniman terkenal seperti Van Gogh, Picasso, atau Monet.
Lebih dari itu, seniman seperti Mario Klingemann menggunakan AI sebagai mitra kreatif dalam menciptakan karya seni generatif yang unik. Dalam karya-karyanya, Klingemann memanfaatkan jaringan saraf tiruan untuk menciptakan gambar yang tidak mungkin dihasilkan oleh imajinasi manusia saja. Ini membuka perdebatan tentang batas antara seni yang diciptakan oleh manusia dan yang diciptakan oleh mesin.
AI dalam Film dan Animasi Narasi Otomatis dan Sinematografi
AI juga mulai mempengaruhi industri film dan animasi. Dengan algoritma pembelajaran mesin, AI dapat menganalisis skenario dan bahkan menghasilkan plot yang kompleks. Misalnya, AI telah digunakan untuk menulis skenario film pendek, di mana hasilnya sering kali mengejutkan karena plotnya yang tidak konvensional dan penuh dengan kejutan.
Dalam dunia animasi, AI digunakan untuk mempercepat proses produksi, seperti dalam pembuatan deepfake atau animasi wajah otomatis yang sangat realistis. Teknologi ini tidak hanya menghemat waktu tetapi juga memungkinkan penciptaan karakter dan dunia yang lebih kaya dan kompleks.
Bahkan insan perfileman yang terlibat diskusi kemarin juga mengatakan bahwa AI mempermudah dan sangat membantunya apabila dipergunakan dengan bijak sesuai porsinya.
Dengan AI yang semakin mendalam mempengaruhi seni dan kebudayaan, muncul beberapa pertanyaan kritis. Salah satunya adalah tentang otentisitas dan nilai dari karya yang dihasilkan oleh AI. Apakah karya yang diciptakan oleh AI dapat dianggap sebagai seni sejati? Bagaimana dengan hak cipta dan kepemilikan intelektual? Siapa yang seharusnya diakui sebagai pencipta, manusia atau mesin?
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa AI dapat menggantikan peran seniman manusia, mengurangi nilai seni yang diciptakan oleh manusia. Namun, banyak seniman dan ahli percaya bahwa AI seharusnya dilihat sebagai alat kolaboratif, bukan kompetitor. Dengan menggunakan AI, seniman dapat mengeksplorasi batas baru kreativitas yang sebelumnya tidak mungkin dicapai dan belum ada sebelumnya.
Jadi kita sebagai insan seni yang kreatif tidak perlu khawatir di era kebangkitan teknologi saat ini. AI dalam seni dan kebudayaan menandai era baru dalam sejarah manusia. AI membuka kemungkinan-kemungkinan baru, memungkinkan kita untuk mengeksplorasi kreativitas dengan cara yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Namun, pada saat yang sama, ini juga memicu perdebatan tentang peran manusia dalam penciptaan seni dan bagaimana kita mendefinisikan keindahan, makna, dan otentisitas di era digital.
AI bukanlah ancaman bagi seni dan kebudayaan, tetapi alat yang memperkaya pengalaman kita sebagai manusia. Di tangan seniman yang visioner, AI dapat menjadi mitra yang kuat dalam menciptakan karya yang menginspirasi, menantang, dan memperluas batasan imajinasi. Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi, masa depan seni mungkin akan ditentukan oleh kemampuan kita untuk bekerja sama dengan mesin, bukan untuk bersaing dengannya, apalagi memusuhi dan memusnahkannya.
Di masa depan, kita mungkin akan melihat dunia di mana teknologi dan kebudayaan manusia tidak lagi dilihat sebagai entitas yang terpisah. Sebaliknya, keduanya akan saling melengkapi, dengan teknologi memberikan peluang baru bagi manusia untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan ide-ide kreatif mereka.
Dengan demikian, manusia akan tetap menjadi penguasa kebudayaan, bukan hanya pengamat yang pasif. (*)
Rissa Churria
Pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) d Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.