Oleh Thomas Krispianus Swalar
BILY baru saja bangun sore ini, mengusap wajah sambil menghampiri meja makan. Ia menuang segelas air putih untuk diminum. Sambil minum ia melayangkan pandangannya, tak terasa ada titik kristal bening jatuh membasahi pipinya.
Ia teringat pesan bundanya sewaktu meninggalkan kampung halaman, setahun yang lalu.
“Nak, ketika berada di perantauan, jangan menaruh dendam kepada siapa pun, kesempurnaan hanyalah milik Allah. Oleh karena itu, jika ada salah ataupun khilaf, minta maaflah.” Begitu nasihat Bunda ketika ia mengambil keputusan untuk merantau ke negeri orang.
“Jaga tutur dan lisan kita selagi kita bersama orang lain, itu yang perlu kamu pegang jika hidupmu ingin aman dan selamat.”
Kata-kata itu selalu terngiang di telinganya.
“Hidup di rantau orang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang harus dilalui setiap insan demi sesuap nasi. Jika hanya duduk diam dan berpangku tangan saja, kamu akan menderita, bahkan akan terpuruk oleh kerasnya kehidupan ini. Sekecil apa pun pekerjaan yang dipercayakan kepada kita, harus kita kerjakan dengan sepenuh hati. Belajarlah dari hal yang kecil sehingga pekerjaan yang lain akan mengalir dengan sendirinya.”
Bily tersadar, selama ini ia belum menjalankan semua petuah bundanya tersebut. Ia masih terbawa egonya. Ia tidak menyadari bahwa karena egonya tersebut, kini ia harus kehilangan pekerjaan yang ia geluti selama ini. Sekarang ia hanya mengurung dirinya dalam kamar kost yang pengap, duduk meratapi nasibnya yang kian tak menentu, sementara uang di dompetnya kian menipis. Ia terhempas pada dinding keegoisan yang kini membuat dirinya harus menerima kenyataan bahwa ia tidak pernah menuruti apa yang telah dipesankan bundanya.
Dering handphone di atas meja membuyarkan lamunannya. Ternyata panggilan dari Bundanya.
”Selamat sore, Bunda. Apa kabar di sana? Mudah-mudahan Bunda dalam keadaan sehat.”
”Selamat sore, Bily. Bunda sehat, tak kurang apa pun. Harapan Bunda, Bily juga demikian.”
“Bily juga sehat, Bunda.”
“Tapi firasat seorang Ibu berkata lain. Dari suaramu, Bunda bisa membaca kamu sedang ada masalah. Bunda harap kamu bisa menceritakan masalahmu tersebut agar kita bisa mencari jalan keluarnya bersama-sama.”
Bily terdiam.
Ia tahu, firasat seorang ibu pasti tidak meleset. Namun, apa yang mesti ia ceritakan?
“Halo?”
Bily terdiam.
“Halo….” Kembali terdengar suara bundanya dari seberang.
“I-iya, Bunda. Bily tidak punya masalah apa pun. Bily hanya lagi malas saja, karena baru bangun tidur.”
“Bunda harap kamu baik-baik saja dan tidak ada masalah. Bagaimana dengan pekerjaan kamu, apakah aman-aman saja?”
Bily semakin tersudut dengan pertanyaan dari bundanya yang bertubi-tubi tersebut.
“Bun….”
“Iya?”
“Sebenarnya, Bily ada masalah dengan pekerjaan, Bun. Bily dikeluarkan dari perusahaan tempat Bily bekerja.”
Bunda terdiam sesaat.
“Benar, kan, apa yang Bunda khawatirkan? Bunda yakin kamu belum bisa menempatkan diri, mana urusan pekerjaan dan ego. Bunda yakin kamu lebih mementingkan diri sendiri sehingga berakibat fatal pada pekerjaanmu. Jika kamu tidak bisa mencintai pekerjaanmu, akan berpengaruh terhadap kinerja dan hasil yang kamu capai, tidak akan optimal. Bunda hanya minta, mulai sekarang kamu belajar dari kegagalan yang sudah kamu alami dan berusaha bangkit kembali untuk mencari pekerjaan. Ingat, Nak, kalau pilih-pilih pekerjaan, maka akan terus seperti itu.”
“Baik, Bunda. Bily akan mencoba mencari pekerjaan lain dan akan mencoba mencintai pekerjaan tersebut sesuai dengan pesan Bunda.”
“Ya, sudah, Bunda doakan semoga kamu cepat mendapatkan pekerjaan.”
“Terima kasih, Bunda. Bily janji akan mengingat nasihat Bunda.”
Sejak saat itu, Bily mulai berubah dan menekuni pekerjaannya yang baru sebagai ladang yang mendatangkan berkat bagi kehidupannya.
Loang, 27 November 2021
Thomas Krispianus Swalar, lahir di Puor, 16 Juli 1976. Kini ia mengabdi di SMA Negeri 1 Nagawutung, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ia menekuni dunia tulis-menulis dan telah melahirkan tiga karya solo serta dua puluhan antologi.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582.