Oleh Maghdalena
KEBIJAKAN pembatasan ISBN untuk buku-buku yang akan terbit di negara kita saat ini, saya rasa sah-sah saja. Tentunya kita berprasangka baik bahwa pemerintah—dalam hal ini Perpusnas RI—sudah menganalisis dengan sangat matang, dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang tentunya demi kebaikan bersama.
Hanya saja, menyimpulkan bahwa geliat menulis generasi bangsa tidak dibarengi dengan geliat membaca, menurut saya adalah kesimpulan yang agak terburu-buru.
Dari mana kita mengukur bahwa minat baca itu tidak meningkat? Apakah ada standarnya? Apa tolok ukur yang digunakan untuk membuat kesimpulan demikian?
Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala saya, yang pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu menggumpal di pikiran saya. Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pendapat terkait fenomena yang tengah terjadi di dunia literasi bangsa kita hari ini. Tentunya, ini sangat subjektif. Sependek pemahaman saya saja.
Penurunan Minat Baca
Ini sangat menarik untuk dikaji. Menurut saya, jika dipandang dari sisi penulis yang terus menjamur, saya justru memandang geliat menulis dan tentunya diawali dengan aktivitas membaca itu sedang dalam masa-masa emas. Karena, dalam pemahaman saya, rasa-rasanya agak sulit bagi seorang penulis untuk menuliskan segala ide, gagasan, pemikirannya tanpa ia gemar membaca. Terlepas dari buku apa yang dia baca dan seberapa bagus kualitas tulisannya itu, tetapi melihat menjamurnya buku-buku yang terbit dengan aneka genre dari penulis-penulis senior maupun pemula, bukankah itu juga menunjukkan bahwa semangat berkarya dan semangat mengabadikan pemikiran itu merupakan bukti bahwa mereka sudah melewati proses literasi yang panjang?
Saya pernah mengikuti parade menulis novel yang diadakan sebuah penerbit yang diikuti ribuan peserta, baik penulis senior maupun penulis muda. Saya tergabung di dalam grupnya dan melihat dinamika yang ada di dalamnya.
Untuk menulis novel-novel itu, tak sedikit yang bercerita dan curhat betapa panjang dan beratnya proses yang mereka lewati. Mulai dari mencari ide dan tema cerita yang baru muncul setelah mereka membaca banyak referensi, dilanjutkan dengan membuat premis, lalu sinopsis cerita, yang mengharuskan mereka membaca banyak sumber, baik dari Google, buku-buku, pun diskusi-diskusi dengan rekan sejawat terkait teori-teori kepenulisan, hingga riset yang menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan.
Dalam proses riset yang tak ringan itu, mereka sudah mengubrak-abrik banyak sumber, membaca ini-itu, berdiskusi sana-sini, juga ada yang datang langsung ke suatu daerah untuk memastikan bahwa apa yang akan dia tuliskan nanti benar-benar beranjak dari sebuah fakta dan realita. Tidak hanya sebatas pengandaian dan rekaannya saja. Bukankah dengan apa yang mereka lakukan itu, mereka telah melewati tahapan literasi dengan sangat dalam? Mungkin lebih dalam lagi dari sekadar membaca teks tertulis. Mereka bahkan sudah membaca alam, membaca kejadian, dan membaca semesta.
Untuk buku atau karya yang paling receh sekalipun, saya yakin ada proses pembacaan, riset, dan diskusi-diskusi yang dilakukan penulisnya.
Itu pandangan saya sebagai penulis buku.
Jika dipandang dari sudut si pembeli buku, apa standar yang digunakan untuk menyimpulkan bahwa minat baca masyarakat tidak meningkat? Dari hasil penjualan buku di penerbit mayor yang tidak mengalami peningkatan secara signifikan? Dari hasil cetak buku di penerbit indie yang hanya beberapa eksemplar saja? Atau bagaimana?
Dari mana didapatkan data beberapa eksemplar itu? Apakah ada data validnya? Di mana info tentang data itu bisa dilihat? Apakah ada tautan website resmi yang bisa dijadikan panduan dan acuan, sehingga pemahaman dan informasi yang didapat oleh masyarakat dan insan pegiat literasi bangsa ini bisa utuh dan tidak setengah-setengah? Atau sekadar menebak dari cerita beberapa orang?
Saya sungguh penasaran dengan jawabannya, karena saya pikir, berbicara dengan data dan fakta yang valid dari sumber yang resmi—dalam hal ini adalah pemerintah—dapat menjadi pemutus kesemrawutan informasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat kita.
Tentang tidak meningkatnya minat baca masyarakat meskipun penerbit indie telah menerbitkan ribuan buku, saya rasa ini perlu dikaji ulang secara mendalam. Hanya saja kalau boleh saya memberikan pendapat dari sudut pandang pribadi, lebih kurang begini: agak kurang pas kalau mengukur standar minat baca masyarakat hanya dari berapa eksemplar buku yang terjual saja. Karena saat ini, di era literasi digital yang makin menggurita, platform yang menghidangkan bacaan secara digital alangkah banyaknya. Bahkan di sebuah platform yang juga saya unduh di ponsel saya, ada begitu banyak karya penulis Indonesia yang telah dibaca hingga jutaan kali. Tidakkah itu menunjukkan bahwa sebenarnya minat baca masyarakat tidak jelek-jelek amat? Itu baru di satu platform, belum termasuk platform lain yang semakin menjamur di negara kita.
Belum lagi, penulis-penulis yang menerbitkan dan mencetak bukunya lewat penerbit indie, lalu menjualnya secara mandiri di kalangannya sendiri. Yang saya yakin, jumlahnya sangat banyak. Apakah eksistensi mereka ini terdata secara valid? Apakah jumlah buku yang mereka cetak itu dilaporkan oleh penerbit atau oleh penulisnya langsung, atau oleh percetakannya secara berkala ke Perpusnas, misalnya? Sehingga didapatkan data terkait belum meningkatnya geliat minat baca masyarakat kita?
Kalau ternyata iya, timbul pertanyaan lagi, di mana data yang valid tentang itu bisa didapatkan? Di mana sumber terpercaya yang bisa diakses untuk mengetahui bahwa memang buku-buku yang ditulis oleh penulis dan diterbitkan oleh penerbit indie ternyata tidak begitu laku di pasaran?
ISBN dan Semangat Berkarya
Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan jika pihak berwenang melakukan pembatasan pemberian ISBN terhadap buku-buku tertentu. Toh, setahu saya, ISBN bukan menjadi indikator kualitas karya. Ia hanyalah sebuah kode untuk menunjukkan identitas buku. Yang mana, hari ini juga telah ada aplikasi lain yang bisa menggantikan peran ISBN. Sebutlah QR Code Book Number (QRCBN) yang sama-sama legal, dapat dipindai dan tentunya memiliki fungsi yang sama dengan ISBN, yaitu sebagai tanda pengenal atau identitas buku.
Akan tetapi, tentu saja di beberapa kalangan tertentu, ISBN tetaplah dikejar, karena ia menjadi salah satu syarat bagi orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi untuk mendapatkan kenaikan angka kredit kenaikan pangkat.
Namun, bagi mereka yang menulis karena hobi, untuk kesenangan, demi idealisme, untuk mewariskan dan mengabadikan ide-ide dan gagasan kecil dan besar, saya rasa, dengan atau tanpa ISBN tidak akan terlalu berpengaruh benar.
Orang-orang seperti ini menurut hemat saya tidak akan berhenti berkarya, karena mereka menulis dengan hati, dengan jiwa. Sehingga faktor eksternal seperti pembatasan ISBN dan lain sebagainya tidak akan begitu signifikan memengaruhi semangat literasi mereka. Atau bahkan bisa jadi, mereka tidak akan begitu peduli tentang itu, karena bagi mereka menulis dan mengabadikan karya dengan cara menerbitkan buku itu sudah ibarat napas, yang ketika tidak dilakukan, mereka seolah kehilangan nyawa.
PR Kita Bersama
Tentu saja, dengan semakin menjamurnya penulis-penulis muda di Indonesia, ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus kita benahi, di antaranya:
Pertama, menjaga setiap karya yang dihasilkan agar memiliki kualitas yang terjaga. Pun memastikan bahwa buku-buku baru yang lahir adalah buah dari pemikiran yang mendalam. Jadi, bukan sekadar karya dangkal yang ditulis dengan asal jadi. Bukan hasil menyalin dari internet dan mengubah sedikit narasinya saja, karena bisa jadi, ada penulis yang ingin cepat tenar, dicatat dalam sejarah telah menulis banyak buku, tetapi ketika bukunya itu selesai dan jadi, ia tidak memberikan wawasan baru yang bermanfaat bagi para pembaca. Bukunya sebagai syarat saja untuk menambah portofolio, dan lain sebagainya.
Selain itu, tugas kita bersama juga untuk menjaga tulisan-tulisan tersebut ditulis sesuai kaidah penulisan yang berlaku di negara kita. Ada KBBI yang bisa dipelajari, ada PUEBI yang bisa dijadikan rujukan dalam menyusun tulisan bermutu, ada Tesaurus yang dapat dijadikan sumber referensi banyak diksi baru, dan lain sebagainya.
Hal ini adalah tugas kita bersama untuk meluruskan, termasuk di dalamnya pihak pemerintah, para pendidik, komunitas menulis, penerbit, dan antarsesama penulis. Memberikan edukasi kepada semua pihak tentang apa hakikat penulis itu sebenarnya. Bahwa menulis tidak hanya menghasilkan karya-karya berupa buku yang di sampulnya tertulis nama kita, tapi juga memastikan ia menjadi karya yang berkualitas dan berguna.
Kedua, menindak tegas segala bentuk plagiasi dan penyebaran buku bajakan. Plagiasi adalah cermin pembodohan diri sendiri. Yang tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup bahwa ia mampu menghasilkan karya berkualitas dari hasil pemikirannya sendiri. Bisa jadi ia takut kalau orang akan mencemooh tulisannya, takut tidak diterima pembaca, dan lain sebagainya. Dan yang lebih mengenaskan, plagiasi karya-karya orang lain yang bagus dan berkualitas, dijadikan jalan ninja untuk terkenal dengan cepat, untuk bisa meraup kekayaan dengan instan, tanpa berpikir panjang bahwa segala tindak kejahatan, pada akhirnya akan terbongkar juga dengan berbagai cara. Ketika itu terjadi, maka sang plagiator harus siap-siap dengan segala sanksi, termasuk hukuman sosial yang akan dia terima seumur hidupnya dan rasa malu tiada akhir.
Kemudian, tentang buku bajakan, ini juga menjadi tugas bersama, terutama pihak pemerintah dan wakil rakyat sebagai pembuat undang-undang. Perlu sanksi yang tegas dan memberi efek jera bagi mereka yang dengan mudahnya menjual buku bajakan, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
Perlu adanya perlindungan karya bagi para penulis produktif. Jangan sampai penulis yang sudah susah payah melahirkan karya berkualitas, pada akhirnya gigit jari karena ternyata buku yang dia tulis, dijual secara ilegal oleh para pembajak tak punya hati yang dengan santai dan ongkang-ongkang kaki saja menjadi penikmat hasil penjualan buku bajakan itu.
Pembahasan tentang ISBN bisa saja akan menjadi bahasan yang terus hangat hingga kini, tetapi kita optimis, geliat literasi generasi bangsa ini tidak akan pernah mati. Ber-ISBN atau tidak, para penulis sejati tak akan berhenti menghasilkan buku-buku berkualitas. Mereka akan senantiasa menumbuhkan semangat berkarya itu berkobar di dalam dada. Menulis bagi mereka adalah panggilan jiwa, karena mereka menulis dengan cinta.
Maghdalena, penulis beberapa buku, bergiat di Rumah Produksi Indonesia (RPI) dan Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis. Berdomisili di Padang, Sumatra Barat
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).