JAKARTA, majalahelipsis.com—Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya.
“Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait momen Hari Pendidikan Nasional, Kamis (2/5/2024), di Jakarta.
Dikatakan Riri Satria, proses belajar harus tuntas, tidak boleh setengah-setengah, karena berguru kapalang ajar, bagai bungo kambang tak jadi.
“Apakah yang dimaksud dengan sakola (sekolah)? Ini adalah simbol yang mengatakan bahwa belajar itu berarti menggali ilmu pengetahuan (science). Sekolah adalah tempat kita mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian belajar berarti menambah atau memperluas ilmu pengetahuan,” papar Dosen Ilmu Komputer Universitas Indonesia ini.
Mengenai surau (mesjid) di Minangkabau, jelas Riri Satria, merupakan simbol yang menjelaskan secara tersirat bahwa belajar itu berarti memperkaya batin dan spiritualitas, memahami konsep mengenai hal yang baik dan benar dalam kehidupan, merendahkan diri terhadap suatu ketentuan Yang Maha Kuasa yang mengatur alam semesta. Adat Minang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
“Ini memberi pesan suatu keharmonisan antara perilaku di dunia dengan nilai-nilai yang ada dalam Kitabullah,” sebutnya.
Sedangkan galanggang (gelanggang) adalah simbol yang mengatakan bahwa belajar itu berarti membuat fisik menjadi prima dan terlatih. Dalam budaya Minang tradisional, galanggang adalah tempat orang belajar melatih fisik (terutama belajar silat). Seorang anak laki-laki di Minang wajib hukumnya pernah turun ke galanggang untuk mengasah kemampuan fisik dan nyali. Di zaman sekarang, makna ini juga meluas ke semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan.
Sementara pasa (pasar) adalah simbol yang mengatakan bahwa belajar itu juga perlu membekali diri dengan kemampuan bersosialisasi dan bermasyarakat. Dalam budaya Minang tradisional, pasar adalah pusat aktivitas sosial masyarakat. Di pasarlah semua kalangan masyarakat bertemu, terjadi interaksi, tidak hanya aktivitas ekonomi seperti tawar-menawar dan jual-beli, melainkan juga aktivitas sosial seperti mampu berteman dengan baik, hidup saling berdampingan, mendamaikan orang berkelahi, dan sebagainya.
“Termasuk dalam definisi pasar adalah lapau atau warung. Ini adalah tempat berkumpul sambil maota (ngobrol). Obrolan bisa yang ringan dan santai bahkan sampai yang serius. Lapau adalah tempat melatih untuk berdebat dengan semua kalangan masyarakat, baik yang terdidik maupun yang tidak, pokoknya dari semua kalangan masyarakat,” ungkapnya.
Menurut Riri Satria, jika di sekolah seseorang belajar berargumen dengan rasional, maka di lapau ini debat dan argumen tidak selalu rasional, bahkan lebih banyak tidak rasionalnya. Namun, itu tetap sebuah kenyataan hidup yang harus dipelajari.
“Perlu juga dipahami bahwa alam takambang jadi guru, artinya banyak pelajaran yang bisa ditarik dari alam semesta. Kita bisa mempelajari banyak hal dari perumpamaan-perumpamaan yang terjadi di alam. Kita harus memiliki kemampuan untuk memahami alam,” kata penyair dan Pimpinan Umum Jurnal Sastramedia.com ini.
Jika disimpulkan, ujar Riri lagi, maka dalam budaya Minang itu makna belajar adalah memperkaya ilmu pengetahuan, memperkaya spiritualitas, memperkaya kemampuan fisik, memperkaya kemampuan bersosialisasi, serta menempatkan diri sebagai bagian dari alam semesta.
“Ternyata budaya tradisional kita pun memiliki filosofi yang tidak kalah tingginya. Saya yakin demikian pula dengan daerah lain di Indonesia, pasti memiliki nilai-nilai filosofi yang tinggi untuk kehidupan,” sebutnya.
Pada momen Hardiknas 2024, Riri Satria yang juga “urang awak” ini mempertanyakan apakah sistem Pendidikan Indonesia sudah mampu menghasilkan generasi yang diidamkan Ki Hajar Dewantara dan Angku M. Sjafei? Apakah insan pendidikan sudah memberikan yang terbaik untuk mencerdaskan kehidupan?
Jauh sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945, kedua tokoh pendidikan itu sudah mampu meletakkan dasar filosofi pendidikan yang luar biasa.
“Sejatinya, setelah Indonesia merdeka, apa yang mereka cita-citakan sudah jauh lebih baik realisasinya. Inilah yang menjadi perenungan kita saat ini,” tambahnya.
Disrupsi Teknologi Digital
Untuk melakukan transformasi digital yang sukses pada dunia pendidikan, menurut Riri Satria, setidaknya ada enam komponen yang ditransformasi, yaitu strategi pembelajaran atau learning strategy, struktur dan proses pembelajaran, teknologi digital untuk pembelajaran atau digital learning technology, tata kelola atau governance dari teknologi tersebut, manajemen sumber daya manusia dalam lingkungan pembelajaran atau HR management in learning environment, serta tentu saja budaya organisasi berupa budaya pembelajaran digital atau digital learning culture yang ada di sekolah.
“Persoalannya adalah, kesiapan kita tidak sama di setiap wilayah di Indonesia, terutama kesiapan infrastruktur digital serta guru-gurunya. Masyarakat di Indonesia sangat beragam, mulai dari masyarakat 1.0 yang sangat tradisional sampai dengan masyarakat 5.0 atau smart society. Kesenjangan ini juga menyebabkan terjadinya gap yang besar dalam proses belajar-mengajar, dan sangat terasa dampaknya selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia, bahkan dunia beberapa waktu yang lalu,” ujarnya.
Dengan demikian, literasi digital untuk para guru dan dosen menjadi sangat penting atau titik kritis keberhasilan transformasi digital dalam dunia pendidikan. Ini adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan menggunakan teknologi digital dengan baik, kreatif, dan kritis untuk berbagai macam hal, antara lain memahami dan tahu cara menggunakan alat teknologi digital, mencari serta menggunakan informasi secara kritis termasuk memvalidasi sumber data dan media, berkomunikasi dan berkolaborasi dalam lingkungan online atau siber, serta mampu menjaga keamanan dan privasi berupa identitas dan data pribadi di dunia online atau siber.
“Para guru sudah harus mampu mengoperasikan learning management systems atau LMS yang sudah mulai banyak diterapkan di sekolah-sekolah, di samping fasih mengoptimalkan jagat digital atau cyberspace untuk kepentingan belajar-mengajar,” tegasnya.
Ditekankan Riri, jangan sampai guru kalah dengan muridnya dalam hal literasi digital. Secara kemampuan adaptasi, generasi yang lebih muda berupa generasi milenia atau Gen Z dan Gen Alfa memang lebih cepat beradaptasi dengan teknologi digital.
“Namun, apa pun alasannya, sebagai orang yang akan mendidik generasi muda tersebut, para guru tidak boleh kalah, setidaknya maju selangkah atau tinggi seranting,” harapnya.
Menurut teori Taksonomi Bloom, manusia dikarunai Tuhan sebanyak 6 tingkatan kemampuan berpikir, yaitu remembering (mengingat atau menghafal), understanding (memahami), applying (menggunakan dengan tepat), analysing (menganalisis), evaluation (mengevaluasi), serta creating (mencipta).
Tiga yang pertama disebut dengan istilah LOTS atau low order thinking skills, sedangkan tiga yang kedua disebut dengan HOTS atau high order thinking skills. Sejatinya manusia tentu harus memaksimalkan karunia Tuhan ini, namun perjalanan hidup orang per orang membuat ada yang bisa memaksimalkan, ada yang setengah maksimal, serta ada yang tidak maksimal.
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence yang dikenal luas dengan istilah AI itu adalah buatan, bukan kecerdasan hakiki yang dimiliki manusia. Dengan demikian, tetap manusia yang memegang kendali, manusia yang mengatur dengan memaksimalkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau high order thinking skills yang dikenal dengan istilah HOTS. Manusia itu adalah subyek, bukan obyek.
“Pendidikan harus mampu mengasah anak didik mengoptimalkan kemampuan HOTS dan tidak hanya berhenti di tingkatan LOTS. Inilah tantangan pendidikan saat ini di era AI,” ujar Riri Satria yang juga Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia dan Penasihat Majalah Digital elipsis. (aan/elipsis)
Editor: Muhammad Subhan
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.