Oleh Sulaiman Juned
MEMBACA novel Rumah di Tengah Sawah (Balai Pustaka, 2022) karya Muhammad Subhan, di dalamnya tentu memiliki parameter yang mengandung interpretasi pengarang terhadap konsepsi mengenai kehidupan. Kehidupan itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung bergelut dalam pikiran pembaca. Rasa haru yang ditawarkan pengarang tercurah lewat jalan ceritanya. Jadi, cerita dalam sebuah novel itu harus mampu menarik pikiran pembaca melalui insiden-insiden atau peristiwa yang dipilih pengarang dengan sengaja lewat awal-konflik-klimak dan resolusi sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bahkan rasa penasaran dalam pikiran pembaca.
Sesungguhnya Muhammad Subhan yang dilahirkan di Medan, 3 Desember 1980 dari ayah asal Kembang Tanjong, Pidie, Aceh, dengan ibu asal Pasaman Barat, Sumatra Barat, pernah menetap di Medan, lalu menyelesaikan SD, SMP, dan SMA di Lhokseumawe, Aceh, telah mampu merebut realitas sosial yang ada dalam dirinya untuk dijadikan gagasan dalam karyanya. Novel Rumah di Tengah Sawah yang ditulisnya berangkat dari realitas sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang telah mampu mengecoh pembaca dengan membangun konflik atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana dramatikal dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Agam, Bondan, Anton, Ibu, dan Bapak dalam Rumah di Tengah Sawah terkesan seperti menghadirkan film kepada pembaca melalui bahasa sastrawi yang menggoda.
Sekaligus Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau, Batak, dan Aceh melalui teknik ungkap dalam narasi serta dialog yang ada dalam novel tersebut yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk dihadirkan kepada pembaca. Spirit dalam perjuangan menguburkan kenangan dan luka di dalamnya menjadi tema mayor (tema utama) dalam Rumah di Tengah Sawah. Muhammad Subhan mampu membenturkan pengalaman masa kecilnya, pengalaman pribadinya, yang tidak mau pergi dari haru biru hidupnya. Bagi saya, membaca Rumah di Tengah Sawah adalah membaca Muhammad Subhan; pengarangya yang sedang menuliskan dirinya menjadi kisah untuk dikontemplasikan kepada setiap pembaca Rumah di Tengah Sawah, dan pengarang sangat cerdas menyampaikan itu.
Sungguh ini bukan sebuah kebetulan, sastrawan selalu membaca kehidupan, dan berpikir. Hal ini boleh dilakukannya melalui menguping; yakni mendengarkan orang yang sedang berbicara. Tentu bagi seorang kreator hal ini dapat menjadi ide yang berharga. Mengintip; melihat, serta mengamati persoalan yang terjadi pada dirinya, dan lingkungannya. Melakukan; merasakan langsung apa yang terjadi. Tiga hal ini telah dilakukan oleh Muhammad Subhan, kemudian lahirlah Rumah di Tengah Sawah. Peristiwa dirinya, keluarganya, mengental dalam pikir, dan jiwanya. Ya, hasilnya lahirlah Rumah di Tengah Sawah dari buah kontemplasinya yang panjang, sepanjang usia Muhammad Subhan hari ini melalui pengalamannya pernah menjadi jurnalis di beberapa media dan semakin matang proses kreatif dalam menulis apalagi setelah menyelesaikan kuliah di Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Imam Bonjol Padang Panjang.
Ada peristiwa nyata (realitas sosial) yang kita temukan dalam novel Rumah di Tengah Sawah, yaitu ibunya Muhammad Subhan berasal dari Pasaman Barat, Sumatra Barat. Ayahnya berasal dari Kembang Tanjung Pidie, Aceh. Tokoh Aku (Agam) sesungguhnya adalah dirinya dan Ibu sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), sedangkan Bapak sampai akhir hidupnya menjadi tukang jahit sepatu (sol sepatu), pekerjaan ini menjadi pekerjaan tetap tokoh Bapak ketika memilih hidup untuk pindah ke Lhokseumawe, Aceh, karena rumahnya di tengah sawah di Tembung, Medan, itu digusur oleh oknum pemerintah karena dianggap illegal sebab dibangun tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Gagasan yang berangkat dari realitas sosial dijadikannya sebagai realitas sastra, maka lahirlah Rumah di Tengah Sawah yang luar biasa itu.
Peristiwa diri yang dilakoninya bertahun-tahun ketika tinggal di Tembung yang orang tuanya membuka warung kopi di Pajak Bengkok, lalu menetap di rumah di tengah sawah itu sampai pindah ke Aceh adalah proses kreatif untuk bangkit dari keterpurukan yang dipinjamkannya pada tokoh Agam, Ibu, Bapak, Bondan Pasaribu, Anton, Ucok, Toni, Ateng, Dodon, Nek Ani, Pak Lukman, Bu Titin, Etek Ros, Wak Samin, dan tokoh lainnya untuk menyampaikan konflik (peristiwa) yang dilalui sang tokoh utama sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi bernama Rumah di Tengah Sawah.
Maka, benarlah teori Ganzheit dalam kajian sastra, karena sastra merupakan kesatuan langsung dalam bentuk dan isi. Ide, tema, dan peristiwa, serta pengarangnya menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Ganzheit memiliki teori totalitas (pertemuan dua subjek). Karya sastra dengan tema-tema yang besar serta gaya yang murni. Tema bukanlah sesuatu yang luar biasa dalam menyampaikan artistik puitikal yang segar. Penghayatan situasi, tentu harus menggunakan metode analitik untuk mengupas tema besar. Ganzheit tentu pula dapat menentukan makna karya sastra itu karena mengkaji dari seluruh elemen, minimal mengupas karya sastranya dan sekaligus membaca pengarangnya. Sebab totalitas secara keseluruhan pengaruh dari lingkungan hidup sang sastrawan sangat mempengaruhi karya yang dilahirkannya. Karya tersebut tidak terpecah-pecah, bersatu dan harmonis dengan diri pengarangnya. Goenawan Mohamad mengatakan, Ganzheit merupakan penghayatan totalitas pertemuan dari hati ke hati (dua subjek), melalui seorang pribadi ke pribadi yang lain. Orientasi ekspresif; karya sastra-pengalaman-perasaan-pikiran sastrawan, pembaca atau kritikus, maka bertemulah dua subjek. Karya sastra adalah subjek yang merdeka (Rahmad Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern. 2002. Jakarta: Gema Media, p. 203).
Jadi, jika pembaca ingin membaca Rumah di Tengah Sawah sekaligus dapat memahami seluk beluknya dengan tuntas, maka penulis menyarankan agar membaca Mumammad Subhan terlebih dahulu. Jika Anda telah mengetahui siapa sesungguhnya Muhammad Subhan, tentu dengan mudah menilisik novel Rumah di Tengah Sawah tersebab dalam novel ini Muhammad Subhan hadir dengan sempurna yang diwakili oleh tokoh Aku (Agam), Ibu, dan tokoh Bapak. Pengarang dengan cerdas menuliskan dirinya dari hasil menguping, mengintip, dan melakukan langsung peristiwa yang telah beranak dalam jiwanya.
Membaca Rumah di Tengah Sawah pengarang dengan cerdas mengelompokkan kata dalam latar, alur, dan konflik melalui tokoh yang dihadirkannya, seolah-olah menjadi pengalaman orang lain. Sesungguhnya bila ditelisik lebih jauh, segala peristiwa merupakan realitas diri pengarang yang ditemuinya dalam lingkungan berkehidupan. Peristiwa inilah yang disebut realitas sastra. Kecerdasan novelis meramu tiga dimensi sastrawi; estetika-etika-logika yang ditransformasikannya sebagai medium pendidikan dan moralitas bagi pembaca. Selain itu, di dalamnya kita temui pembelajaran dalam perjuangan tentang kegigihan, kesetiakawanan, serta pengabdian seorang anak kepada orang tua, ini yang membuat novel Rumah di Tengah Sawah layak menjadi bacaan yang menarik untuk dimiliki. (*)
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar, Sumatera Barat dan laman Steemit.com.
Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn., adalah penulis, penyair, sutradara teater, ketua jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, pendiri sekaligus penasihat Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang. Berdomisili di Kota Padang Panjang.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).