Pengantar Redaksi:
Apa kaitan antara kesenian, perpustakaan, sejarah, serta masa depan? Ini adalah empat topik yang menarik untuk diperbincangkan, apalagi jika berupaya untuk mencari titik temu keempatnya. Majalah digital elipsis berkesempatan mengikuti perbincangan tiga tokoh sampul elipsis yang membahas topik tersebut. Pertama adalah pianis, musisi, serta komponis Ananda Sukarlan yang juga pernah menjadi Direktur Artistik G20 Orchestra, lulusan Master (S-2) di bidang musik dari Royal Conservatory of The Hague di Den Haag, Belanda dengan predikat summa cumlaude, serta mendapatkan predikat sebagai predikat sebagai One of the world’s leading pianists at the forefront of championing new piano music dari koran Australia, Sydney Morning Herald. Kedua, Riri Satria, pakar teknologi dan transformasi digital, dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, komisaris sebuah BUMN, serta penyair, aktivis sastra, sekaligus Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia. Ketiga, adalah penyair Emi Suy, Redaktur SastraMedia yang sudah menerbitkan lima buku kumpulan puisi tunggal dan memperoleh Anugerah Pustaka dari Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2019 untuk salah satu buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Berikut bincang-bincangnya. (Redaksi)
Riri Satria (RS): Bagaimana kesan Anda ketika mengunjungi Museum Basoeki Abdullah beberapa waktu lalu?
Ananda Sukarlan (AS): Bagi saya metafora adalah kunci dari kesenian, dan semakin tinggi nilai artistik seorang seniman, semakin besar pula kekuatan metaforanya. Namun, kemarin saya menemukan sesuatu yang kontradiktif ketika mengunjungi Museum Basoeki Abdullah. Mengapa? Karena metafora itu tidak saya temukan dari karya-karyanya. Saya mengaguminya sebagai seorang seniman, tetapi dia adalah seorang realis, alias tidak ada ambiguitas dalam karyanya. Singa menggambarkan singa. Manusia digambarkan seperti fotonya, bahkan seolah dengan sentuhan Photoshop abad ke-20.
RS: Tetapi pasti ada sesuatu yang sangat istimewa dari seorang Basoeki Abdullah. Kalau tidak, tidak mungkin dia demikian terkenal bahkan dianggap sebagai maestro pelukis di Indonesia?
AS: Nah, itu dia, setelah melihat perpustakaan pribadinya maka saya jadi mengerti semuanya. Ternyata tidak ada buku fiksi di sana. Tidak ada buku yang memicu imajinasi. Dia sudah memiliki imajinasinya sendiri, sehingga yang ada hanya data dan basis data, berupa berbagai ensiklopedia, buku geografi dan biografi serta bebagai buku referensi lainnya. Semua adalah fakta dan bukan fiksi. Saat ini, perpustakaan itu akan dinotifikasi oleh Google. Hal ini sangat menginspirasi dan memberikan wawasan, terutama ketika mengetahui bahwa tidak semua seniman memiliki kebutuhan dan konsep yang sama. Basoeki Abdullah sangat berbeda namun tidak ada yang menyangkal bahwa dia adalah seniman hebat.
RS: Apakah dunia puisi juga demikian? Bagaimana menurut Emi Suy?
Emi Suy (ES): Ya, kurang lebih sama. Dalam dunia puisi kita mengenal istilah puisi gelap dan puisi terang. Puisi gelap adalah puisi yang sangat sarat dengan metafor yang sukar dipahami oleh mereka yang awam soal puisi. Sementara itu puisi terang adalah puisi yang penggunaan kata-katanya lebih jelas dan gamblang, sehingga masyarakat awam puisi pun dapat memahami maksudnya, bahkan dalam banyak hal, sama dengan yang disampaikan Mas Ananda tadi, tidak menimbulkan ambiguitas.
RS: Jadi apa tujuan mengunjungi Museum Basoeki Abdullah itu? Saya tidak yakin Bro Ananda mengunjungi museum hanya sekadar datang. Pasti ada tujuan spesifik?
AS: Kebetulan saya ke Museum Basoeki Abdullah pas sehari sebelum Hari Kunjung Perpustakaan. Saya diajak teman saya, pianis dan guru piano Angelica Liviana. Sebetulnya kami mau ngobrol tentang rencana tahun depan, di mana studio dan sekolah musiknya Piano & Co. berulang tahun ke-5 dan ingin mengundang saya sebagai semacam artist in residence untuk memberikan masterclass dan ceramah buat para muridnya yang kemudian akan tampil di konser. Museum itu sebetulnya rumah sang pelukis, tapi kemudian dibangunlah bangunan baru yang modern sebagai extension untuk museumnya. Buat saya, justru perpustakaan yang paling penting di situ karena itu bisa menerangkan kenapa berbagai mahakarya Basoeki Abadullah beraliran realis seperti itu. Bacaan seorang seniman itu sangat menentukan hasil karyanya. Perpustakaan pribadi Basoeki Abdullah sangat menjelaskan mengapa karya-karyanya seperti itu.
ES: Kalau begitu Mas Ananda juga harus mengunjungi perpustakaan pribadi Bang Riri Satria di rumahnya suatu saat. Ada ratusan buku di sana, mulai dari filsafat, sains, teknologi, ekonomi, bisnis, penelitian, pendidikan, sosial budaya, sampai dengan sastra. Nah, itu menunjukkan kiprah Bang Riri di berbagai bidang.
RS: Bro, bisa diceritakan lebih mendetail kesimpulannya apa setelah mengunjungi museum Basoeki Abadullah?
AS: Ada yang menarik. Saya menemukan banyak buku tentang sejarah di perpustakaan tersebut. Saya lihat apa yang dianggap sejarah oleh Basoeki Abadullah berbeda dengan pengertian saya tentang sejarah. Beliau kelihatannya terobsesi dengan kenyataan atau realitas. Sementara itu saya adalah kebalikannya beliau. Saya terobsesi dengan apa yan disebut dengan semesta paralel atau parallel universe. Jujur saja, saya tidak pernah percaya sejarah sebagai fakta yang utuh atau lengkap. Oswald membunuh Presiden John F. Kennedy itu satu versi dari sejarah, tapi belum tentu fakta. Faktanya adalah video bikinan Zapruder yang terlihat jelas bahwa pembunuhnya ada beberapa dari berbagai sudut. Tapi sejarah menuliskan bahwa pembunuhnya satu, yaitu Lee Harvey Oswald. Ya sudah, diterima saja. Itu baru salah satu contoh. Belum lagi soal pendaratan di bulan dan sebagainya. Nah, kalau di bidang musik, sejarah itu sering dipakai sebagai pencitraan, misalnya Wolfgang Amadeus Mozart itu digambarkan sebagai seniman miskin. Well, banyak sih seniman ditulis oleh sejarah sebagai orang miskin dan terzalimi. Padahal Mozart itu kaya raya. Rachmaninov itu salah satu seniman terkaya dalam sejarah juga, jauh dengan pencitraan imigran Rusia yang merantau ke Amerika penuh penderitaan. Tinggalnya saja di Beverly Hills, dan punya vila musim panas di Danau Lucerne di Swiss!
RS: Wait Bro. Mungkin dalam kasus Mozart dan Rachmaninov kita harus membedakan antara pencitraan atau branding dengan kenyataan atau realitas. Namun memang keduanya, baik pencitraan maupun realitas tercatat dalam sejarah. Tanpa catatan sejarah, kita tidak dapat mengetahui adanya dikotomi keduanya itu kan? Antara pencitraan dan realitas?
AS: Ya, benar. Namun, di sini saya ingin menekankan bahwa catatan sejarah itu tidak semuanya adalah realita. Sejarah adalah rekonstruksi, dan bisa saja dalam prosesnya ada yang terlewat atau bahkan dimanipulasi. Tetapi bahwa itu bisa saja dikoreksi di kemudian hari, ya bisa juga.
RS: Kelihatanya seorang Ananda Sukarlan juga tertarik dengan sejarah?
AS: Oh, sangat tertarik, tapi saya meyakini bahwa sejarah itu bukan 100 persen fakta. Kadang-kadang bahkan sedikit sekali faktanya. Saya lebih tertarik membaca sejarah lewat, misalnya, Shakespeare. Sebab, sejarah itu cenderung untuk menghakimi, yaitu ada penjahat, ada pahlawan. Ada pihak yang benar, ada yang salah. Sejarah mengajak kita untuk berpihak. Buat saya, pidato Mark Antony yang ditulis Shakespeare itu lebih membuat saya semakin mengerti tentang Julius Caesar daripada yang saya pelajari di sekolah dulu. Sejarah itu bukan untuk dipelajari, tapi untuk dirasakan. Kalau cuma dihapal, kita tidak akan mengerti. Itu sebabnya seni lebih penting daripada fakta sejarah. Itu sebabnya Einstein bilang “Imagination is more important than knowledge“.
RS: Aha! Apa ini bukan perspektif subyektif seorang seniman yang menyimpulkan bahwa sejarah itu bukan untuk dipelajari, tapi untuk dirasakan?
AS: Mungkin juga. Bro Riri tentu memiliki perspektif lain sebagai seorang scientist walau juga berkecimpung di dunia seni yaitu puisi. Tetapi itulah perspektif saya tentang sejarah.
RS: Nah, jadi kontradiktif dong? Bukannya Bro Ananda sedang dalam proses penulisan opera tentang tokoh pahlawan penyelamat korban perdagangan anak, yaitu sosok perempuan keturunan Tionghoa Bernama Auw Tjoei Lan yang menentang perdagangan manusia di masa lalu? Berarti ini juga bisa jadi nanti bukan fakta dong?
AS: Haha, kan Walt Whitman menulis di puisinya “Song of Myself”, ada penggalan seperti ini, Do I contradict myself? / Very well then I contradict myself, / I am large, I contain multitudes. Anyway, begini Bro Riri, saya justru membuat opera ini supaya orang bisa merasakan, bukan mempelajari, tentang tokoh perempuan Tionghoa yang saya kagumi ini. Jadi sekali lagi, tujuannya untuk merasakan. Itu sebabnya saya selalu bilang dengan penulis libretto-nya, Emi Suy, bahwa data itu nomor dua. Yang terpenting adalah bagaimana perasaan sang penyanyi. Data itu bisa ditampilkan lewat layar, lewat setting panggung. Tapi tujuan opera adalah menyentuh hati penonton, bukan mengajarkan sejarah. Itu caranya kita semua menjadi bagian dari sejarah. Sejarah itu untuk dipikirkan dan dihidupkan terus, bukan seperti dimasukkan ke dalam kulkas untuk membeku, dijadikan arsip dan menjadi sesuatu di luar kita semua. Sampai sekarang, perdagangan manusia masih ada dan masih tetap biadab di era digital atau smart society 5.0 yang katanya sudah sangat maju ini. Kalau kita tidak merasakannya secara dalam kebiadabannya, hal ini akan terus ada dan kita tidak memperdulikan. Itu tujuan saya sebenarnya, Bro.
RS: Saya menyebutnya itu sebagai sebuah proses kreatif, yaitu put “new reality” upon the reality itself. Namun saya sepakat dengan upaya itu untuk memberikan daya gugah untuk memahami sejarah, dan memang itu tugas para seniman. Kalau soal data atau fakta, biarlah tugas para akademisi sejarah untuk membahasnya.
AS: Ya, kira-kira demikian, Bro.
RS: Bagaimana proses yang dilakukan Emi sebagai script writer untuk opera ini supaya bisa memenuhi permintaan Bro Ananda?
ES: Tentu saja hal pertama yang saya lakukan adalah mempelajari fakta sejarahnya terlebih dahulu. Saya membaca dengan mendalam buku tentang sejarah hidup Auw Tjoei Lan. Kemudian saya menyusun naskah atau script dengan mengunakan dua model penulisan kreatif. Pertama menyampaikan menambahkan hal-hal baru hasil olahan imajinasi kepada fakta tersebut, misalnya dalam wujud dialog imajiner, yaitu sebuah dialog yang mungkin tidak pernah ada dalam sejarah namun kita buat supaya dapat menggugah para penonton. Kedua, seperti yang Bang Riri sampaikan tadi, put “new reality” upon the reality itself, atau membangun sebuah realitas imajiner di atas realitas sejarah yang ada. Semua itu adalah proses kreatif yang membutuhkan kemampuan mencerna sejarah dan mengolahnya dengan proses kreatif menggunakan berbagai imajinasi.
AS: Kita dari tadi sudah banyak ngobrol soal kesenian, perpustakaan, dan sejarah, di mana yang memberikan pendapat hanya saya dan Emi. Bagaimana perspektif Bro Riri sendiri?
RS. Oke, saya akan bicara dalam perspektif sebagai akademisi namun dengan visi ke depan. Buat saya, membaca sejarah itu tidak hanya mengetahui atau memahami kejadian-kejadian di masa lalu. Namun lebih dari itu, yaitu menarik kessons learned atau pelajaran penting untuk lebih baik di masa depan. Ya benar, dalam era penuh disrupsi seperti saat ini, masa depan belum tentu merupakan kelanjutan dari pola-pola di masa lalu. Namun selalu ada underlying patterns atau nilai-nilai inti yang bisa dipelajari walau wujud akhirnya mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman. Perpustakaan adalah sebuah big data untuk keperluan itu, membuat underlying patters dan mengolahnya untuk membuat masa depan yang labih baik.
AS: Nah saya sepakat. Opera tentang Auw Tjoei Lan ini sendiri juag bertujuan demikian, supaya hal-hal kelam di masa lalu seperti perdagangan manusia tidak ada lagi dalam peradaban kita. Melalui opera ini saya ingin melakukan penyadaran kolektif mengenai bahaya hal ini. Jangan sampai terjadi lagi!
RS: Nah Bro Ananda, apa nih kesimpulan dari obrolan panjang kita barusan?
AS: Seni itu intinya metafora untuk menimbulkan daya gugah. Seni bisa dipakai untuk memahami sejarah, karena dengan demikian, sejarah akan lebih dimaknai, tidak hanya sekedar fakta dan data semata. Perpustakaan sebagai tempat penyimpanan fakta dan data, termasuk sejarah, tidak boleh steril atau terpisah denan kesenian. Semuanya harus bersinergi untuk mampu memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat, serta menciptakan masa depan yang lebih baik.
ES: Ini Bang Riri lama-lama saya perhatian sudah seperti menguji tesis mahasiswanya di kampus. Ada pernyataan konseptual, retorikal, opini, sampai dengan disuruh membuat kesimpulan di akhir.
RS: Nah benar Emi. Begitulah akademisi membuat pemahaman, melalui structured conversation atau percakapan terstruktur. Sementara seniman menggunakan metafora untuk memberikan daya gugah. Semua akan menjadi dahsyat jiak disinergikan bukan? Anyway, selamat untuk Bro Ananda dan Emi untuk pekerjaan operanya. Semoga semua berjalan baik dan lancar.
Penulis: Tiara N. S.
Editor: Muhammad Subhan
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).