Oleh Riri Satria
INI ADALAH sebuah pemikiran menarik dari Charles Handiy yang diungkapkan dalam bukunya The Age of Paradox yang diterbitkan Harvard Business School Press pada tahun 1994. Ini memang sebuah buku lama, ditulis 30 tahun lalu, namun masih menarik dan relevan untuk dibahas saat ini.
Pada kurun waktu tahun 1996–2004 saya sering membahas isu paradoks ini dalam berbagai kesempatan, baik di kelas maupun seminar. Isu ini saya angkat kembali karena semakin lama apa yang dipikirkan Charles Handy pada tahun 1994 menjadi semain nyata terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari saat ini di era masyarakat cerdas atau smart sociey 5.0.
Apakah artinya paradoks? Menurut kamus Webster, paradoks berarti suatu pernyataan yang kelihatannya kontradiktif, sulit untuk dipercaya, terjadi pertentangan, kelihatannya mengada-ada, tetapi bisa jadi benar dalam kejadian sehari-hari, dan bisa jadi berjalan beriringan dalam kehidupan. Definisi ini pulalah yang diadopsi oleh Charles Handy dalam pemikirannya tentang paradoks ini.
Charles Handy mengamati ternyata banyak sekali kejadian-kejadian di dunia ini bersifat paradoks. Ia mengungkapkan setidaknya ada sembilan paradoks yang ada di atas dunia ini. Saya tidak akan menguraikan satu per satu paradoks tersebut di sini, karena pada intinya adalah, ada suatu pertentangan, namun berjalan beriringan dalam kehidupan kita.
Satu paradoks yang sangat terkenal adalah generation gap. Kita sering “memberontak” kepada generasi sebelum kita atau generasi yang lebih senior dari kita dengan mengatakan bahwa zaman sudah berubah. Zaman generasi kita berbeda dengan zaman generasi orang tua kita dulu. Kita sebel kalau generasi tua sok ngatur generasi kita dan menganggap generasi mereka labih baik daripada kita. Namun paradoknya, kita juga sebel bahkan marah melihat generasi anak-anak kita yang kita anggap nyeleneh.
Kita tidak suka ketika mereka mengatakan bahwa zaman generasi mereka sudah berbeda dengan generasi kita. Lah, bukankah ini hanya pengulangan sejarah? Kita memberontak kepada generasi sebelum kita, namun kita meminta generasi setelah kita untuk patuh kepada kita. Paradoks, bukan? Ini sangat terlihat pada masa Gen Z saat ini di era digital serta masyarakat cerdas 5.0.
Contoh lainnya yang diungkapkan Charles Handy adalah paradoks waktu (the paradox of time). Mengapa orang bekerja? Supaya mendapatkan penghasilan dan dapat pergi berlibur atau bersenang-senang dengan uangnya tadi. Untuk mendapatkan uang semakin banyak, maka dia bekerja semakin keras. Sayangnya, Tuhan menyediakan waktu hanya 24 jam sehari. Apa jadinya? Ternyata semakin keras dia bekerja, semakin banyak dia mendapatkan uang, tetapi akhirnya dia tidak punya waktu untuk bersenang-senang karena sibuk bekerja. Paradoks, bukan? Ini dipertegas dengan paradoks pekerjaan (the paradox of work), di mana menurut Charles Handy, some people have work and money but too little leisure time, while others have only leisure time but no work and little money. Setujukah Anda?
Eits, sebentar dulu. Era ekonomi digital dengan prinsip remote working atau work from home, bahkan ada pula sekarang work from café, sudah mulai memungkinkan paradoks waktu dan paradoks pekerjaan tereliminasi sedikit demi sedikit walau belum sepenuhnya demikian. Ya, memang tidak semua pekerjaan bisa diperlakukan demikian.
Dalam dunia bisnis, banyak pimpinan perusahaan berupaya untuk menjaga ketenangan, kenyamanan, serta keharmonisan kerja. Ternyata hal ini tidak selalu membawa perusahaan ke arah produktivitas yang lebih baik. Mengapa demikian? Sering demi ketenangan, demi kenyaman, dan demi keharmonisan kerja, ide-ide yang sifatnya radikal tidak dibiarkan tumbuh, sehingga perusahaan gagal untuk melakukan berbagai terobosan baru untuk perbaikan (positive breakthrough).
Ini mirip dengan fenomena kodok rebus yang berada dalam comfort zone atau zona kenyamanan. Charles Handy menyarankan kepada perusahaan-perusahaan untuk selalu memikirkan berbagai hal baru (new thinking = reorganized company), yang barangkali dampaknya bisa menganggu zona kenyamanan tadi. Menurut Charles Handy, yang perlu dibangun adalah rasa saling mempercayai (trust), dan bukanlah suatu comfort zone.
Fenomena ini semakin terasa di era ekonomi digital saat ini di mana terjadi banyak sekali disruption dalam model bisnis, di mana jika tidak melakukan perubahan maka perusahaan akan mati, seperti apa yang teradi pada bisnis media yang akhirnya beralih dari cetak kertas ke online atau daring.
Charles Handy juga memberikan perhatian khusus kepada pendidikan. Banyak orang yang mengirimkan anaknya pergi ke sekolah dengan harapan nanti anaknya memiliki bekal untuk menghadapi kehidupan di masa mendatang. Tetapi pada kenyataannya, sekarang banyak sekolah yang justru memisahkan anak didik dari lingkungannya. Sekolah tidak lagi berperan sebagai wadah supaya anak didik dapat beradaptasi dengan lingkungannya, melainkan mencabut si anak didik dari lingkungannya karena ekslusivitas sekolah tersebut. Charles Handy juga menganggap ini sebagai suatu paradoks. Menurut Charles Handy, saat ini sekolah harus mereformasi dirinya supaya tidak menjadi wadah untuk mencabut anak didik dari lingkungannya, melainkan sebagai wadah untuk mempercepat anak didik mengenali dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Nah fenomena ini masih terjadi saat ini walau sudah mulai muncul apa yang didsebut dengan sekolah alam yang mencoba untuk tidak memisahkan sekolah dengan lingkungan. Bahkan sekolah konvensional pun sudah memiliki banyak aktivitas yang membawa anak didik mengenal alam dan lingkungan sosial lebih baik. Anak saya pernah menginap ddi rumah penduduk di sebuah desa selama seminggu dan berinteraksi dengan para penduduk setempat dengan segala aktivitasnya, ikut ke sawah, ke empang, dan sebagainya.
Membaca pemikiran Charles Handy melalui bukunya The Age of Paradox memang inspiratif. Dunia memang banyak mengalami kejadian-kejadian paradoks, dan ternyata perkembangan di era ekonomi digital ini juga memberikan perubahan fenomena atas pemikiran paradoks Charles Handy. Beberapa di antara paradoks tersebut sudah tidak terlalu paradoks lagi, karena sudah mulai dipertemukan ddalam beberapa titik.
Nah, satu hal yang tetap menarik adalah, Charles Handy mengatakan bahwa untuk mengahadapi era paradoks, kita butuh lebih BIJAKSANA (WISDOM) dan lebih memiliki EMPATI dalam memandang berbagai fenomena di masyarakat, termasuk perubahan zaman. Menurut saya, ini juga termasuk menyikapi perubahan terhadap fenomena paradoks itu sendiri. (*)
Riri Satria
Komisaris Utama PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), sebuah perusahaan ekonomi digital dalam grup Pelabuhan Indonesia (Pelindo), Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia serta Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), pernah menjadi Komisaris Independen PT. Jakarta International Container Terminal (JICT), aktif sebagai pembicara dalam berbagai seminar dan konferensi tentang transformasi digital, manajemen strategis, serta diundang di berbagai forum bisnis dan teknologi. Di samping itu juga aktif alam dunia sastra sebagai Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) serta sudah menerbitkan 4 buku kumpulan puisi serta 5 buku kumpulan esai.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.