Oleh Shintia Ramadani
KEDUA jarum jam dinding berbeda ukuran telah berhimpit. Ruangan itu gelap, menyisakan cahaya redup dari lampu jalanan dekat rumah. Hanya kesunyian yang menandakan waktu tidur telah lama datang.
Namun, suara isak tangis di balik selimut tebal itu tak kunjung berhenti. Gadis kecil dengan luka gores kecil bertumpuk yang lama-kelamaan membesar di tangan kirinya. Matanya sembab tak kunjung berhenti mengeluarkan tetes demi tetes air.
Begitu berat harinya. Begitu berat jalan yang harus ia tempuh. Begitu berat hidup yang terus diperjuangkannya. gadis kecil yang mengingat betapa berat hidup setelah kepergian sang Ayah. Ibu yang selalu sibuk, dan hidup yang selalu menuntutnya.
Hingga tak sadar, seseorang telah diam-diam mengendap masuk ke dalam kamarnya.
“Nadia belum tidur?” Suara berat nan lembut itu menyapu gendang telinganya. Namun, sang gadis kecil bernama Nadia itu tak kunjung bangkit dan keluar dari dekapan selimut tebalnya.
“Nadia kenapa? Sini cerita sama Abang. Jangan dipendam sendiri.” Lagi-lagi suara itu. Dengan berat hati, gadis kecil itu bangkit dan keluar dari selimut tebalnya.
“Abang ngapain ke sini?” tanyanya dengan suara bergetar.
Lelaki berkursi roda di depannya hanya tersenyum memandang wajah sang adik di bawah cahaya redup dari lampu jalanan di luar sana.
“Gimana Abang bisa tidur? Sedangkan suara tangismu sampai ke sebelah.” Dia menunjuk dinding kamar yang menjadi pembatas antara kamarnya dan adiknya.
Dia melirik pergelangan tangan kiri adiknya yang telah dipenuhi sayatan demi sayatan luka yang mengalirkan darah merah.
“Bukankah kamu kemarin berjanji tidak akan mengulanginya lagi?” tanya lelaki berkursi roda itu dengan nada murung.
Mendengar itu, Nadia langsung menarik tangannya ke belakang punggungnya agar saudara laki-lakinya tidak lagi melihat tangan kiri penuh luka sayatan itu.
“Maaf, Bang. Nadia sudah tidak kuat,” gumamnya dengan suara bergetar. Air matanya kembali meluncur mulus di pipinya.
“Nad, kan Abang sudah bilang jangan sakiti dirimu lagi. Ini bukan pelampiasan terbaik. Itu hanya akan mengingatkanmu pada kesalahan-kesalahan masa lalumu. Hal itu juga tidak baik untuk kesehatanmu. Nanti Ayah bisa marah melihatmu seperti ini, Ibu dan Abang juga Sedih.”
“Tapi ayah sudah lama pergi, Bang. Kalau ayah marah kan bisa datang langsung buat memarahi Nadia. Nadia tidak masalah. Nadia tidak akan menangis dan marah-marah. Ibu juga tidak peduli sama Nadia. Ibu sibuk bolak balik keluar kota, meeting sana sini bahkan hanya sekadar menanyai Nadia sehat atau tidak saja tidak sempat. Bahkan dalam setahun Ibu hanya pulang dua kali dan masih sibuk mengurus perusahaan dari rumah.” Suaranya semakin bergetar. Dia masih kukuh memaksakan diri agar tangisnya tidak pecah di depan sang Abang.
“Kan masih ada Abang. Kamu kalau ada sesuatu ke Abang aja. Insyaallah Abang selalu ada buat kamu.”
“Tapi .…”
“Tapi kenapa?”
Nadia menunduk dengan wajah sembabnya.
“Memangnya Abang bisa? Bahkan untuk berjalan saja Abang sudah tidak bisa dan itu semua karena Nadia. Abang sudah rela kehilangan fungsi kedua kaki Abang karena menyelamatkan Nadia dari tabrakan mobil setahun lalu. Nadia tidak mau memberatkan Abang lagi. Hanya Abang satu-satunya untuk Nadia. Nadia tidak ingin kehilangan Abang.” Air semakin deras membasuh kedua pipinya. Sedangkan suaranya semakin serak dan bergetar demi mengeluarkan setu demi satu kata.
“Nadia, Abang tahu kamu itu gadis yang kuat, kamu diberkahi dengan kecerdasan melebihi orang-orang di luar sana. Suaramu indah didengar dengan tutur kata yang tak kalah indah di saat kamu berbicara di depan. Kamu mampu membuat orang-orang percaya, kamu mampu membangun rasa pada setiap diri oarng-orang yang mendengarmu. Kamu sempurna Nadia. Kamu gadis yang hebat, gadis yang kuat. Dan adik terbaik yang pernah Abang miliki. Kamu mampu membuat orang percaya pada dirimu, maka buatlah hatimu percaya pada dirimu sendiri.”
“Tidak bisa, Bang. Suara-suara berisik yang memenuhi kepalaku tak kunjung berhenti. Mereka merendahkanku, mengingatkan pada kesalahanku. Aku terjebak dalam kegelapan, Bang. Sendirian. Aku hanya ingin keluar dan bahagia seperti yang lain.” Nadia tak kuasa dengan segala tutur kata yang didengarnya. Tangis pilunya pun pecah malam itu dengan segala perasaan dan beban berat yang selama ini dipendamnya dalam-dalam.
Perlahan, lelaki itu mendorong roda pada kursinya menuju sebuah meja dan membuka lacinya. Setelah mengambil barang yang dibutuhkan, dia Kembali mendorong roda pada kursinya untuk kembali ke tempatnya semula.
Dia memperlihatkan bola lampu kecil dari balik genggaman tangannya. Lelaki itu pun mendorong saklar kecil di sisi lampu tersebut hingga memancarkan cahaya yang tak terlalu terang namun tak terlalu redup, cukup untuk untuk menerangi sekitar mereka.
Nadia terpana saat sang abang memberikan bola lampu itu padanya.
“Sekarang kamu sudah tidak terjebak lagi dalam kegelapan. Kamu sudah punya penerang meski tak seterang matahari. Dan kamu tidak sendiri, kamu masih punya Abang. Abang janji bakal terus bersamamu dan menjagamu. Jika janji ini tak dapat ditepati, kamu masih punya Tuhan yang selalu ada untuk menjagamu dan bisa jadi tempat kamu berlindung dan meminta. Abang percaya masa depanmu akan lebih terang dari lampu ini bahkan lebih dari matahari. Dan di mana pun dan kapan pun itu, kamu harus selalu ingat kalau Abang akan selalu ada di hatimu.”
Perlahan lengkungan manis akhirnya terbit di wajah gadis itu. Walau wajahnya sembab, dia masih tampak cantik dengan wajah yang diterpa cahaya dari lampu yang tengah digenggamnya.
“Maaf kalau Nadia tadi buat Abang khawatir. Terima kasih atas kata-kata Abang dan terima kasih karena selalu jadi Abang terbaik yang Nadia miliki.”
Mulai sekarang, akan selalu ada cahaya kecil yang menemaninya dan menjaga sang gadis kecil dari kegelapan malam dan pemikiran jahat yang menghantui tidurnya. Hingga mimpi indah nan terang benderang mendatanginya di masa depan. (*)
Padang Panjang, 10 September 2024
Shintia Ramadani
Lahir di Bukittinggi, 25 Agustus 2008. Saat ini duduk di bangku kelas XI-11 Ibnu Sina Putri Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang. Suka membaca karya sastra dan karya ilmiah. Salah satu pemenang Lomba Tulis Ilmiah di UIN Imam Bonjol Padang tahun 2024. Berdomisili di Pasir Pengaraian, Riau. Cerpen ini karyanya yang lahir setelah mengikuti Pelatihan Menulis Kreatif bersama Muhammad Subhan di Pondok Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang, Selasa, 10 September 2024.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.