Oleh Muhammad Subhan
BURUH teh telur itu bernama Engku Raoh. Di luar bulan puasa, dia setia menyambut para pelanggannya, dari fajar menyingsing hingga terbenam matahari, bahkan hingga dini hari.
Dia tak kenal lelah, apalagi berkeluh kesah. Baginya, mengeluh adalah gaya orang-orang kalah, dan itu bukan tipe dirinya.
Rasa teh telur buatannya wah, mewah, dan teh telur telah mengangkat harkat martabat engku-engku kawan karibnya di Simpang Lapan, juga karyawan-karyawannya. Karyawannya bukan buruh asing, tetapi orang-orang di Simpang Lapan itu juga.
Pelanggannya banyak orang kampung, pun perantau, dan hari raya Idulfitri tahun ini agaknya perantau akan meramaikan kembali lepaunya setelah lebih dua tahun lepau itu lengang dihondoh pandemi.
Menurut Engku Raoh, minum segelas teh telur pagi dan petang meningkatkan stamina dan semangat kerja. Sekali mencangkul dua tiga parak koyak, menunggu panen saja.
“Selamat Hari Buruh, Engku,” ujar Engku Sut yang datang sesudah berbuka puasa di lepau itu, senja kemarin, lalu ia minta dibungkuskan teh telur sebab ada keperluan lain yang hendak ia kerjakan di dangaunya di kaki Singgalang. Lupa dia kalau membawa teh telur tanpa termos tempo hari membuat dia jatuh terjungkang di pematang. Namun, demikianlah Engku Sut, ia tak ingin mengingat perkara yang sudah-sudah. Cukup jadi kenangan, jadi pelajaran.
“Terima kasih, Engku. Sejahteralah hidup para buruh,” jawab Engku Raoh.
Hari Buruh yang jatuh setiap tanggal 1 Mei, tahun ini berdekatan dengan Idulfitri. Biasanya, di Hari Buruh itu buruh-buruh berdemo. Kini entahlah, mungkin tidak, sebab semua orang memilih mudik ke kampung halaman, termasuk ke Simpang Lapan. Etek-etek di kampung sedang berdemo masak kue, sebagai hidangan hari kemenangan.
Engku Raoh membuatkan teh telur untuk Engku Sut, dan ia menggratisannya sebab momen Hari Buruh, selain berderma menjelang hari raya. Tentu, Engku Sut senyum semringah, bertambah-tambah kebahagiaannya.
“Hari ini gratis sebungkus buat Engku. Bawalah pulang,” ujar Engku Raoh.
“Terima kasih, Engku. Bertambahlah rezeki Engku hendaknya,” balas Engku Sut. Hilang lipatan empat di keningnya karena bahagia.
Pada kesempatan itu, Engku Sut menyampaikan permohonan maaf kepada Engku Raoh, sebab hari raya esok tiba.
“Khilaf dan salah saya mohon dimaafkan, Engku,” kata Engku Sut. Di lepau itu ada Engku Kari pula, dan ia menyampaikan permohonan yang sama.
“Ha, demikian juga saya, Engku. Banyak barangkali khilaf ucap, sikap, dan pelayanan lepau ini yang kurang memuaskan. Mohon dengan tulus saya dimaafkan,” sambut Engku Raoh. Kemudian, bersalam-salaman mereka.
Indah sekali orang yang bergembira di hari bahagia. Setelah saling bermaaf-maafan, terasa lepas beban di kepala Engku Sut, meski ia masih mempunyai utang beberapa gelas teh telur di lepau Engku Raoh.
“Elok-elok di jalan pulang, Engku. Di lebuh ramai oto dan bendi,” ujar Engku Raoh lagi. Engku Sut mengangguk.
Simpang Lapan semarak lagi dengan orang rantau. Engku Sut juga sedang menunggu kemenakannya dari Batam yang konon pulang pula berlebaran di kaki Singgalang.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).