Buku Gratis untuk Komunitas Baca

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

BANYAK cara mendapatkan buku gratis untuk menambah sumber bacaan anak binaan di komunitas baca, khususnya yang berada di pelosok.

Jauhnya akses perpustakaan, toko buku, dan keterbatasan pendanaan pengelola komunitas, di antara beberapa persoalan krusial.

Sementara, buku benda paling penting di jantung komunitas baca. Tanpa buku komunitas baca kering. Tanpa buku pintu dan jendela dunia tertutup.

Sejumlah anak muda yang sebagian besar mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Sumatra Barat menggagas webinar kiat mendapatkan buku gratis untuk komunitas baca, Ahad, 4 Juni 2023, lalu.

Mereka juga tergabung di Forum Penggerak Literasi Sumatra Barat, sebuah wadah kolaborasi beberapa komunitas literasi.

Anak-anak muda itu bergerak secara swadaya, independen, dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah.

Saya diminta sebagai salah seorang pembina, di samping beberapa nama pegiat lainnya di Sumatra Barat, di forum itu. Sebagai wadah baru, forum ini patut didukung, dikuatkan, didorong agar terus bergerak.

Jangan sampai menjadi kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.

Melihat anak-anak muda yang semangat saya ikut semangat pula. Jiwa muda saya timbul kembali.

Mereka punya cita-cita luhur membangun gerakan bersama di ranah literasi, salah satunya menguatkan komunitas-komunitas baca yang baru tumbuh.

Sudah pasti, kehadiran komunitas-komunitas baca di daerah turut membantu kerja pemerintah. Ada bagian yang tak terjangkau pemerintah, tapi dikerjakan oleh komunitas-komunitas baca itu, di antaranya membawa buku sedekat mungkin ke masyarakat tanpa perlu urusan birokrasi yang berat, terutama di daerah-daerah rural (pedesaan), yang meski di era digital hari ini, masih banyak yang belum mampu mendapatkan akses buku.

Bukan saja membawa buku, mereka juga mendampingi anak-anak yang di antaranya berasal dari keluarga ekonomi kurang mampu, yatim piatu, anak jalanan dan terlantar, atau anak-anak korban broken home, dan segala bentuk trauma masa lalu, termasuk trauma akibat bencana alam.

Tidak hanya anak-anak, tapi juga melibatkan masyarakat binaan orang dewasa yang tak lagi anak-anak. Mereka memberi penguatan pada kerja-kerja inklusi sosial, menumbuhkan kewirausahaan melalui rumah baca, agar keluarga-keluarga kurang mampu secara ekonomi memiliki pekerjaan tambahan untuk mengepulkan asap dapur di rumah.

Pegiat-pegiat literasi itu hadir di tengah-tengah mereka, bekerja tanpa pamrih, tanpa dukungan pendanaan yang kuat, tapi tetap bertahan untuk cita-cita mulia; meliteratkan anak bangsa, agar di masa depan kehidupan anak-anak itu lebih baik, dengan berbagai cita-cita yang mereka impikan, semisal menjadi guru, dokter, arsitek, pengusaha, tentara, pejabat negara, dan lain sebagainya.

Sudah pasti, tidak semua orang tua mampu secara maksimal mewujudkan cita-cita anak-anak mereka.

Masalahnya banyak, baik karena faktor pendidikan, ekonomi, perselisihan rumah tangga (perceraian), meninggal dunia, ditinggal pergi bekerja ke luar negeri menjadi TKI/TKW, terlibat kasus hukum sehingga terpidana, dan segala persoalan lain yang membuat jarak dan jurang yang dalam antara hubungan orang tua dan anak.

Sekolah formal tidak sepenuhnya mampu mendampingi anak-anak itu, karena murid di sekolah sangat banyak. Tak semua terurus oleh guru, di samping kini pekerjaan dan beban guru sangat berat sekali. Sedikit yang mampu menjadi guru layaknya Bu Muslimah dalam film Laskar Pelangi.

Selebihnya, sekadar menyelesaikan tugas dan kewajiban saja; datang ke sekolah, mengajar, lalu pulang, kemudian keesokannya lagi melakukan rutinitas yang sama.

Sementara, ratusan anak di sekolah punya problem berbeda-beda, menyelesaikannya juga dengan cara berbeda-beda.

Ketika sekolah-sekolah formal yang sebagian juga dipermasalahkan soal komesialisasinya—karena ada biaya ini-itu yang memberatkan sebagian orang tua, tidak akan bisa menghadapi anak-anak didiknya secara sempurna.

Lalu, hadirlah kantong-kantong literasi di luar lembaga pendidikan resmi yang digerakkan oleh sebagian “orang-orang gila” yang mau-maunya meluangkan waktu, tenaga, pikiran, biaya, dan segalanya untuk mendampingi anak-anak dengan problem-problem sosial di atas.

Mereka bergerak secara mandiri membangun rumah baca, ruang baca, taman bacaan, pojok baca, dan segala macam namanya itu untuk membawa anak-anak ke pintu gerbang suksesnya.

Di sebut “orang-orang gila” (dengan tanda petik dua) karena tidak semua orang mau bekerja seperti mereka. Di mata sebagian orang yang lain, mereka disebut “aneh, manusia langka, apa yang dicari dari pekerjaan itu, untuk apa mau capek-capek mengurus komunitas baca dengan segala masalahnya”, dan sebutan-sebutan lain yang bagi orang-orang di luar dianggap “tak masuk di akal”.

Sudah pasti tak terjangkau di akal kalau apa yang mereka kerjakan tidak turut dirasakan, tidak sampai dibawa ke hati, hanya dilihat saja dengan kedua bola mata telanjang. Mereka orang-orang istimewa yang luar biasa, aset bangsa, dan sepatutnya diapresiasi dengan segala bentuk dukungan, baik dari orang-orang yang punya jiwa filantropi, maupun pemerintah yang bertali-hubung dengan apa yang mereka kerjakan.

Buku gratis yang dibicarakan anak-anak muda dalam webinar itu tidak menjadi perihal tabu, karena peluangnya terbuka lebar.

Buku gratis bisa didapatkan dari berbagai pihak yang peduli menguatkan kantong-kantong literasi itu, semisal perpustakaan daerah yang dikelola pemerintah, harus secara rutin mempergilirkan buku-buku koleksi mereka.

Program buku bergulir menjadi penting, sehingga buku-buku di rumah baca bisa terus baru, dipinjamkan oleh perpustakaan daerah, sebulan sekali, atau dua-tiga bulan sekali. Setelah habis dibaca, buku-buku itu diambil kembali, ditukar dengan buku-buku baru, terus begitu.

Tapi problemnya, tidak banyak perpustakaan yang dikelola pemerintah melakukan itu. Alasannya bermacam-macam. Mulai dari lokasi taman bacaan yang jauh, tidak ada anggaran untuk memaksimalkan pergerakan mobil perpustakaan keliling (puskel), dan lain-lain. Sehingga yang terjadi, mobil puskel sering menganggur, atau hanya bermain di zona aman dan nyaman, di dalam kota saja, atau sekadar membuka lapak baca di sekolah-sekolah.

Sementara, sekolah punya perpustakaan sendiri, punya guru-guru pegiat literasi termasuk pustakawannya, plus murid-muridnya yang dekat dengan akses buku.

Kalau mau berlelah sedikit, mobil puskel harus dibawa jauh dari zona sekolah, ke kantong-kantong literasi yang dikelola masyarakat, atau ke pelosok kampung yang belum terjangkau layanan puskel. Anak-anak di sana sedang menunggu dengan rindu buku-buku yang bersampul rapi dan beraroma harum yang selama ini terpajang di rak-rak puskel itu. Ingin sekali dipinjam untuk dibaca.

Selain buku bergulir dari perpustakaan daerah, buku gratis juga bisa didapatkan dari gerakan wakaf buku orang-orang baik yang memiliki buku-buku berlebih, baik baru maupun bekas. Informasi media sosial menjadi penting untuk menggerakkan banyak orang turut peduli menguatkan komunitas baca, sehingga mau mendonasikan buku-buku yang dapat mereka usahakan, baik dengan cara membeli, menyumbangkan buku tak terpakai di rumah, ataupun dengan mengajak donatur lainnya untuk turut membantu.

Beberapa lembaga pemerintah secara rutin mendonasikan buku mereka setiap bulannya, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika RI melalui Pustaka Bergerak Indonesia menyalurkan majalah dan komik-komik untuk komunitas-komunitas baca di seluruh Indonesia. Majalah dan komik-komik dengan berbagai tema itu menarik dan sangat disukai anak-anak.

Cara lain mendapatkan buku gratis bisa melibatkan jaringan pertemanan yang lebih luas, baik kepada penulis, penerbit, toko buku, dan lainnya yang punya jatah buku promo untuk didonasikan, khususnya ke komunitas baca. Banyak penulis baik yang mendukung gerakan literasi di daerah, bahkan mereka menghubungkan komunitas baca ke penerbit atau toko buku, misalnya Gramedia, termasuk Balai Pustaka.

Di Sumatra Barat, beberapa komunitas baca mendapat bantuan buku dari Gramedia, berkardus-kardus isinya. Penulis, penerbit, dan toko buku yang berjiwa sosial ini tidak sedang merugi, tapi memberi keuntungan lain yang sangat besar dari kerja-kerja sosial mereka. Sekurang-kurangnya branding penerbit atau toko buku sudah didapat, selain doa-doa dan rasa syukur dari anak-anak yang memang selayaknya dibantu akses bacaannya.

Cara lain, adalah membangun gerakan lintaskomunitas yang saling terhubung. Komunitas baca yang sudah surplus buku di perpustakaan mereka selayaknya membantu komunitas-komunitas baca lain yang masih minim buku. Sistemnya sama seperti buku bergulir, dibawa dan dipinjamkan dalam kurun waktu tertentu, hingga suatu hari komunitas baca yang dibantu itu kuat dan mampu mengusahakan buku sendiri, baik membangun jaringan donasi, maupun dengan cara membeli.

Banyak cara lain. Kuncinya tertumpu pada kreativitas pengelola komunitas baca. Asal tidak sekadar menunggu.

Yang paling penting dari mendapatkan buku gratis adalah penguatan program di komunitas baca. Apa saja program yang disiapkan dan menjadi daya tarik anak-anak untuk datang dan belajar. Program menjadi jantung komunitas baca.

Banyak komunitas baca yang memiliki fasilitas yang baik dan lengkap buku-buku di perpustakaannya tapi tak punya program. Yang lebih miris lagi kalau tak punya anak atau masyarakat binaan. Komunitas baca itu ada di antara ketidakadaannya. Kalau itu terjadi, akan muncul pertanyaan, komunitas baca itu untuk apa diadakan?

Semua akan berpulang kepada niat.

Maka, sepatutnya—sebagai autokritik—para pegiat komunitas baca, di sepanjang waktu, dalam gerakan literasinya, harus terus memperbarui niat, karena sudah pasti, tidak ada karpet merah untuk pegiat literasi, kecuali apa yang dilakukannya untuk meliteratkan masyarakat akan memberikan karpet merah di jalan yang ia lalui, meski di sepanjang jalan itu bertabur onak dan duri. (*)

*) Penulis, pegiat literasi, dan founder Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis, berdomisili di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca