Dalam proses menulis, penulis pemula perlu menganut paham bersungguh-sungguh dahulu honor kemudian. Proses sudah pasti tidak akan mengkhianati hasil.
Oleh Muhammad Subhan
Kamu mengeluh, ngirim tulisan ke media massa, baik cetak atau online, tetapi tidak mendapatan honor ketika tulisanmu diterbitkan. Kamu kecewa lalu mencak-mencak, ribut di medsos, dan langsung memvonis negatif media yang memuat karyamu. Padahal, kamu baru sekali itu mengirim tulisan ke sana.
Sebagai penulis pemula, kamu seharusnya bersyukur, tulisanmu mendapat tempat di media tersebut. Sebab, banyak penulis (pemula) lainnya menunggu pada daftar antrean di email redaktur, tanpa kejelasan nasib naskahnya, atau tulisannya tidak dimuat sama sekali, dengan berbagai pertimbangan, di antaranya karena memang tidak layak, dan tanpa pemberitahuan apa pun dari redaksi. Lah, kamu? Baru ngirim langsung dimuat. Hebat, bukan?
Bahasan ini dalam konteks penulis pemula, ya, bukan yang sudah senior, meski para senior pun tak jarang tulisannya mengalami nasib sama, tak jarang pula tak menerima honor. Dan, kamu sebagai pemula, di awal-awal menulis, sebaiknya jangan ngomongin honor dulu. Berproses saja dulu. Mendapat kesempatan terbit di media, itu sudah bagus. Ada harapan prospek menulismu di masa depan cerah, namun dengan syarat naskahmu yang terbit itu bukan karya pertama dan terakhir.
“Lho, kok prospeknya cerah tanpa honor? Sudah capek-capek nulis, terbit, tapi tak dapat apa-apa. Buang-buang waktu, tenaga, uang (karena ngirimnya butuh paket intrenet, juga riset), plus capek memikirkan idenya,” protesmu suatu hari.
Lha, kalau memang capek nulis, kok milih jadi penulis? Jualan saja, buka warteg misalnya, untungnya lebih jelas. Dan, kamu tidak perlu mangkel-mangkel, apalagi sampai tidak ikhlas begitu.
Pertanyaannya, siapa yang salah? Media yang menerbitkan tulisanmu atau dirimu yang tak sabar menjadi orang berduit karena tulisanmu terbit?
Pertanyaan berikutnya, apakah kamu sudah yakin bahwa tulisanmu itu adalah benar-benar karya paling bagus, sangat bermutu, dan disukai pembaca?
Belum tentu!
Mungkin saja, redaktur melihat namamu yang baru muncul dan kegigihanmu menulis, lalu memberi kesempatan di media mereka agar tulisanmu terbit. Harapan si redaktur, kamu semakin produktif menulis, bersungguh-sungguh, dan menghasilkan karya lebih baik dari tulisan yang telah terbit itu. Jangan baru terbit sekali, gayamu sudah seperti penulis besar, jual mahal, lalu hitung-hitungan soal honor pemuatannya.
Karakteristik Media Massa
Hakikatnya, setiap media harus memberikan honor kepada penulis yang karyanya terbit.
Namun, kamu harus paham bahwa tidak semua media yang dikirimi tulisan ke sana adalah media yang perusahaannya mapan secara finansial, tetapi tetap memberi ruang dan kesempatan kepada penulis-penulis pemula untuk menerbitkan karya mereka. Niat baik media itu perlu dihargai dan ruang yang tersedia dapat kamu manfaatkan sebagai batu loncatan untuk karya-karyamu. Di media itu kamu bisa secara rutin menulis, mengasah kemampuan, sehingga kamu benar-benar menjadi penulis profesional yang diperhitungkan dan dibayar dengan honorarium layak suatu hari nanti.
“Baiklah, lalu apa yang harus saya lakukan agar media membayar honorarium tulisan saya?” tanyamu suatu hari.
Begini. Pertama, kalau targetmu memang untuk honor, kamu harus survei dulu, apakah media yang kamu kirimi tulisan itu menyediakan honor atau tidak—karena tidak semua media menyediakan honorarium. Kamu bisa bertanya kepada teman-temanmu yang karyanya pernah terbit di media itu, apakah mereka menerima honor atau tidak? Jika ada, berapa pun jumlahnya, kamu berpeluang mendapatkan honor pula jika tulisanmu terbit di sana. Kalau tidak ada honor, kembali kepada niatmu semula, apakah kamu mau memanfaatkan media itu sebagai jembatan untuk mengasah kreativitas menulismu atau menarik naskah dan mengirimnya ke media lain yang menyediakan honor. Kamu harus gigih. Harus tahan banting. Terus kirim. Kirim terus. Lagi dan lagi. Jangan mudah menyerah!
Kedua, kirim tulisanmu ke media-media besar ternama yang sudah jelas menyediakan honor. Koran-koran nasional biasanya menyediakan honor antara Rp300 ribu sampai Rp1 jutaan. Lumayan, bukan? Tetapi kamu jangan kaget dulu. Untuk mendapat honor sejumlah itu tidak gampang, sebab kamu harus menulis karya yang bagus, menarik, bermutu, dan disukai redaksi. Kalau redaktur tidak berselera membaca tulisanmu jangan harap akan dimuat!
Tantangan berikutnya, kamu harus bersaing dengan ratusan, bahkan ribuan naskah penulis lain yang bukan saja pemula tapi juga senior yang nama-nama mereka tak asing di jagat kepenulisan tanah air. Media-media sekaliber Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos—sekadar menyebut beberapa nama—tentu tidak sembarangan menerbitkan tulisan. Redakturnya akan memilih dan memilah, mana tulisan bermutu dan tidak. Media-media besar cenderung menerbitkan tulisan-tulisan penulis yang sudah punya nama daripada penulis-penulis yang baru muncul yang tulisannya masih amburadul. Namun, bukan berarti penulis pemula tidak berpeluang naskahnya terbit. Kesempatan selalu terbuka.
Jika orientasi kerja kepenulisanmu memang untuk uang, maka kamu harus mau dan berani menembus media-media besar itu. Tetapi, sudah pasti tidak semudah membalik telapak tangan. Kamu harus bekerja keras dan banyak bersabar.
Jadi, untuk tahap pemula, kamu dianjurkan untuk tidak matre. Jalani saja dulu prosesnya.
Menulis sebanyak-banyaknya. Menulis apa saja sesuai bidangmu. Kirim tulisanmu ke berbagai media. Aktif juga di media sosial.
Tentu, sebelum itu, kamu harus mengenal karakter dan isi media tujuanmu. Jangan asal ngirim tulisan ke media yang tidak kamu kenal. Jangan juga mengirim tulisan ke media yang tidak bisa kamu pantau. Sebab, jika tidak terpantau, bagaimana kamu tahu jika tulisanmu dimuat atau tidak? Untung-untung kalau ada temanmu yang berlangganan media itu, membaca tulisanmu, lalu memberi tahu bahwa tulisanmu dimuat. Jika tidak, kalaupun tulisanmu terbit, kamu akan kehilangan momen berharga dalam hidupmu, yaitu melihat karyamu muncul di media massa.
Nah, bersungguh-sungguhlah baru honorarium kemudian. Jika nama dan karyamu sudah cukup dikenal, kamu boleh hitung-hitungan secara profesional. Bahkan, kamu tak perlu capek-capek mengirim tulisan ke media massa, sebab akan banyak redaktur media menghubungimu, meminta tulisan-tulisanmu untuk mereka terbitkan, dan tentu dengan honorarium yang menggiurkan.
Selamat berkarya. (*)
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, motivator kepenulisan, Founder Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis. Berdomisili di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Instagram: @muhammadsubhan2.
Sumber: Majalah digital elipsis edisi 009, Februari—Maret 2022