Oleh Fatatik Maulidiyah
MENDAKI ke Bukittingi, sebuah kota yang terpaut dalam keindahan alam Sumatra Barat merupakan salah satu impian saya. Mengunjunginya laksana menjelajahi lembaran sejarah yang hidup. Di antara jajaran pegunungan yang megah, tersembunyilah sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup salah satu tokoh besar Indonesia, Bung Hatta.
Saya berkesempatan singgah di Bumi Minangkabau sekitar pertengahan Oktober 2023 lalu ketika mengikuti kegiatan literasi di Bukittinggi. Banyak tempat ikonik saya kunjungi di kota yang dikenal sebagai kota terindah di dunia tersebut. Seperti Jam Gadang, Ngarai Sihanok, Lubang Jepang, Pasa Ateh, hingga sepulang dari Bukittinggi berkesempatan menyinggahi dapur majalah elipsis di Kota Padang Panjang.
Salah satu yang menarik tentunya sebuah rumah bersejarah tempat masa kecil Bung Hatta. Rumah masa kecilnya, tempat di mana akarnya menghunjam keberanian, keteguhan, dan semangat memperjuangkan kemerdekaan bangsa, menyimpan cerita yang tak terhitung banyaknya.
Saya singgah bersama teman-teman setelah kegiatan literasi yang bertempat di Hotel Pusako Bukittinggi yang berakhir di hari kedua sekitar pukul 14.00 WIB, diantar oleh salah seorang teman yang berasal dari Tanah Datar. Ia merupakan panitia kegiatan literasi, bersama suaminya mengantar saya dan teman-teman ke beberapa destinasi menghabiskan waktu sore.
Tujuan pertama kami adalah rumah masa kecil Bung Hatta yang berada di pusat Kota Bukittinggi. Tepatnya di Jl. Soekarno Hatta 37, Campago Ipuh, Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukittingi.
Saat saya dan teman-teman tiba, tampaklah sebuah rumah berdiri dengan arsitektur klasik berwarna kecokelatan dominan unsur kayu. Rumah masa kecil Bung Hatta ini masih sangat terawat dan saat ini menjadi museum sejarah. Begitu masuk saya disambut seorang petugas yang menyampaikan ucapan selamat datang, mengarahkan kami untuk melepas sepatu, kemudian mengisi buku tamu. Kemudian kami membayar tiket sebesar sepuluh ribu rupiah.
Ruangan pertama yang saya singgahi adalah ruang baca Bung Hatta. Ruangan ini kecil dan terdapat dua rak buku dan meja tulis. Ruangan yang berada sejajar dengan teras ini hanya berukuran sekitar 2 x 3 meter saja. Setelah berfoto sejenak dengan membawa buku, saya beranjak ke ruangan tengah. Ruangan ini sangat lapang.
Di sekeliling tembok berhiaskan beberapa foto keluarga dan foto-foto Bung Hatta dalam berbagai momen. Ada juga bingkai berisi silsilah Bung Hatta dan di sudut ruangan terdapat lukisan besar berpenyangga bergambar Bung Hatta dengan posenya yang berwibawa.
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk merasakan aura sejarah yang menyelimuti rumah ini. Dinding-dinding kayu tua seakan bicara dalam kehangatan, menyapa kami dengan setiap goresan dan pahatan terukir di dalamnya. Setiap ruangan memiliki aroma yang khas, sebuah aroma yang membawa saya pada suatu masa lampau.
Membayangkan sebuah kehidupan yang damai dan adiluhung. Saya agak lama berkutat di ruang tamu ini. Perabot serba klasik dan pernak-pernik yang menghiasi meja serta rak buku. Laksana sebuah adegan dalam novel Anggia Murni atau Salah Asuhan yang kerap hadir dalam imajinasi saya tentang kehidupan khas urang Minang.
Saya beranjak ke kamar Paman Bung Hatta, di dalamnya ada ranjang, meja rias, dan sumur yang sudah ditutup. Sedangkan di seberang kamar ada tempat tidur dan di dalamnya ada meja kecil dan mesin jahit.
Selanjutnya saya beranjak ke luar. Ada ruangan terpisah dari bangunan depan, yaitu kamar dan dapur serta tempat bendi berada. Bahkan bendi tersebut masih ada. Melambangkan bahwa Bung Hatta memang golongan bangsawan dan kaum terpelajar di zamannya.
Saya melanjutkan jelajah ke lantai dua. Dengan mengenakan sandal kayu atau klompen (bahasa Jawa—red.) saya naik. Tampak lagi sebuah ruangan lengkap dengan meja dan kursi, seperti sebuah ruangan untuk bercengkerama bersama keluarga. Setelah turun saya menuju dapur ruangan yang paling saya sukai. Tata ruangannya sederhana. Meja makan dan beberapa rak piring. Saya pun berpose seakan-akan sedang menuangkan minuman dari sebuat ceret.
Jelajah saya di rumah masa kecil Bung Hatta harus saya akhiri karena ada tempat lain yang akan kami kunjungi, yakni Lubang Jepang dan Ngarai Sianok. Dalam langkah tapak kaki saya meninggalkan rumah Bung Hatta. Ada sebuah rasa yang tertinggal. Tentang sebuah kebijaksanaan, keluhuran sebuah kehidupan, dan atmosfir keilmuan yang menjadi napas rumah tersebut. Mengingatkan saya betapa Bung Hatta merupakan sosok inteletual, pejuang, dan sosok yang memiliki etika yang tinggi telah ditanamkan pada diri pribadi beliau oleh keluarganya.
Matahari merona pertanda sore jatuh di Kota Bukittinggi. Saya dan teman-teman beranjak ke luar dan berpose sejenak di halaman depan. Kunjungan saya ke rumah masa kecil Bung Hatta di Kota Bukittinggi tidak hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan sipiritual yang menggugah.
Dari setiap sudut rumah yang sederhana namun penuh makna, saya belajar betapa pentingnya keberanian, keteguhan, dan semangat dalam menghadapi hidup. Rumah ini bukan hanya menjadi rumah tinggal Bung Hatta, tetapi juga menjadi bagian dari saksi perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. (*)
Fatatik Maulidiyah
Penulis, guru, tim redaksi majalah digital elipsis, berdomisili di Mojokerto, Jawa Timur.
Sumber: Majalah digital elipsis edisi 034, Tahun III, Maret-April 2024
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.