Bayang

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

SESUDAH ditumpanginya bendi dari Simpang Lapan, tibalah Engku Kari di Padang, di hari raya itu. Hari semakin tinggi. Terik berdengkang.

Orang ramai di kedai-kedai teh telur, di mal-mal, dan di tepi pantai. Oto umum di jalanan penuh sesak. Oto pribadi rancak-rancak yang datang dari rantau demikian pula. Macet mengular.

Di tengah perjalanan, dicarinya lepau. Kepada engku pemilik lepau, dimintanya membuat teh telur agak segelas. Namun, sebelum itu, dia minta sepiring nasi beserta lauknya. Perjalanan jauh dari kaki Singgalang membuat ia merasa lapar.

Setelah perutnya kenyang, minta permisilah dia kepada pemilik lepau. Dibayarnya apa yang ia makan dan minum. Kemudian, ditumpanginya kembali bendi, terus ke Teluk Bayur, pelabuhan yang rancak dan masyhur. Di sana, entah masih ada kapal penumpang yang turun di dermaganya, dia tak tahu. Namun, Engku Kari bukan hendak berlayar.

Setibanya di persimpangan bandar laut itu, dia diimbau orang dari jauh. Rupanya pemilik oto umum yang sedang menambang penumpang. “Engku mau ke Painan?”

“Tidak, saya hingga Pasar Baru, Bayang, saja,” jawab Engku Kari.

“Oh. Boleh. Naiklah, Engku. Bangku tinggal sebuah untuk Engku,” balas sopir oto yang agak tambun badannya itu. Terik matahari menyengat kulitnya yang hitam berkilat bercampur peluh.

Bergegaslah Engku Kari naik. Benarlah, tak lama, roda oto melaju di jalan beraspal yang kini sudah rancak. Beberapa tahun lalu, badan jalan masih dilihatnya berlubang. Pembangunan sudah pesat. Badan Engku Kari tak lagi terguncang-guncang di dalam oto setiap kali roda oto masuk lubang.

Oto yang berjalan tidak terlalu cepat itu menyisiri bibir pantai di sepanjang Teluk Bayur, terus ke Bungus Teluk Kabung, kemudian mendaki jalan di perbukitan berhutan lebat. Dari atas bukit, tampaklah di matanya hamparan panorama rancak Kota Padang. Pun demikian pemandangan laut yang luas, sebagai sebuah lukisan alam ciptaan Tuhan yang Mahaindah.

Angin yang masuk dari jendela oto terasa sejuk sekali menyapu muka Engku Kari, menghalau gerah teriknya matahari sejak ia berbendi dari Simpang Lapan ke Padang. Mata Engku Kari pun dibuat kantuk hingga ia tak sadar jika oto sudah hampir sampai di Tarusan. Tak lama lagi tibalah dia di Bayang. Dia baru terjaga ketika engku sopir oto menepuk-nepuk pundaknya di saat oto berhenti menurunkan penumpang.

“Engku, sudah hampir tiba,” seru Engku Sopir ramah.

Engku Kari terkejut dan terbangun dari tidurnya. Kepalanya agak berat sebab tidur di dalam oto yang menempuh jalan berkelok-kelok, membuat mual perutnya. Namun, agak sedikit senang badannya sebab dapat rehat dan memejamkan mata.

Setibanya di Bayang, kampung yang ramai itu, turunlah ia. Pertama yang dicarinya lepau, minum teh telur. Teh telur mengembalikan staminanya setelah menempuh perjalanan yang melelahkan. Mujurlah, di lepau itu dia bersobok kawan lamanya, seorang guru di sebuah madrasah. Berota lamaklah dua kawan karib itu. Karena hari sudah agak sore, kawannya mengajak Engku Kari singgah di rumahnya. Ota lamak dilanjutkan lagi.

Di antara cerita yang disukai Engku Kari dari kawannya adalah tentang asal muasal negeri Bayang. Untuk mengobati rasa penasaran Engku Kari, kawannya itu memberi sebuah buku rancak berjudul Bayang Nan Tujuah Koto Nan Salapan, Bayang Salingka Nagari, dikarang Engku Emral Djamal Datuk Rajo Mudo (alm.). Banyak cerita yang menambah pengetahuan Engku Kari dari cerita kawannya dan cerita di buku itu. Dari Tambo Bayang, Perang Bayang, hingga asal muasal silat Bayang yang tersohor itu. Bahkan, dari negeri Bayang lahir seorang alim ulama bernama Buyung Mudo gelar Tuanku Ibadat, kawan seangkatan dan sahabat Tuanku Syaikh Burhanuddin Ulakan yang bersama-sama menuntut ilmu, pergi berguru kepada Tuanku Syaikh Abdul Rauf, di Aceh. Sepulang dari Aceh mereka menyebarkan agama Islam di Minangkabau.

Tentu banyak cerita lain yang menarik, dan Engku Kari ingin cepat-cepat mengkhatamkan isi buku itu.

Bersilaturahmi di hari raya tentu sebuah kebahagiaan yang tiada tara. Di Bayang, ia singgahi pula beberapa rumah kawan karib dan keluarganya yang lain. Ramai orang. Bersua cerah dan gembira air muka.

Benarlah, bersilaturahmi memanjangkan umur dan menambah rezeki. Setidaknya, rezekinya hari itu, selain mendapat THR, juga dihidangkan orang teh telur di rumah-rumah yang ia singgahi. Teh telur membuat badannya ingin menggariak saja. Termasuk bulu hidungnya.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca