Jakarta, majalahelipsis.com – Komponis dan pianis bereputasi internasional Ananda Sukarlan menggarap opera baru yang berangkat dari kisah sejarah di awal abad ke-20 di Batavia. Tokoh utamanya Auw Tjoi Lan yang melawan perdagangan manusia di era kolonial.
Opera itu digarap Ananda Sukarlan setelah sembilan tahun berlalu sejak ia menciptakan opera terakhirnya “Clara” (dari cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Clara atawa Wanita yang Diperkosa”—red.). Opera ini meraih penghargaan majalah Tempo sebagai karya pertunjukan terbaik 2014 dan Ananda Sukarlan dinobatkan menjadi salah satu Tokoh Seni 2014.
Pemeran utama Clara, Soprano Isyana Sarasvati pun kemudian dikontrak Sony Music dan menjadi salah seorang penyanyi tersukses di Indonesia. Isyana telah memenangkan kompetisi Tembang Puitik Ananda Sukarlan di tahun 2013, di mana Ananda “menemukan”nya dan menokohkannya ke peran yang cukup menantang sebagai seorang gadis Cina yang diperkosa di era kerusuhan 1998 silam.
Kini, komponis dan pianis yang tahun 2020 telah dianugerahi gelar kesatriaan “Ordine della Stella d’Italia” dari Presiden Sergio Mattarella ini akan menuliskan opera baru. Kalau Clara berdasarkan latar belakang sejarah yang nyata tapi dengan tokoh yang fiktif, kali ini Ananda mengambil tokoh yang memang ada dan patut dianggap pahlawan.
Studi Historis
Opera “Musuh si Mucikari” berdasarkan kisah kepahlawanan Auw Tjoei Lan (1889—1965), perempuan yang telah menyelamatkan ratusan korban perdagangan para perempuan di Indonesia (human trafficking) sejak sekitar Perang Dunia I. Dari situ, bersama suaminya Lie Tjian Tjoen mereka mendirikan panti asuhan “Ati Soetji” untuk menampung para korban yang didatangkan dari daratan Cina. Mereka dijanjikan kehidupan yang lebih baik tapi ternyata dijual sebagai budak dan/atau pelacur.
“Kita tuh harusnya belajar sejarah lewat rasa. Karya seni itu menggugah emosi kita sehingga kejadian itu lebih menempel, bukan hanya di otak tapi juga di hati kita. Dulu saya ingat di sekolah, mengingat perang Diponegoro itu kesannya berlangsung hanya lima menit, karena terjadi di tahun 1825—1830. Tidak berarti apa-apa tokoh tersebut, sampai bertahun-tahun kemudian saya membaca sajak Chairil Anwar dan melihat lukisan Raden Saleh,” kata Ananda Sukarlan kepada majalahelipsis.com, Rabu (19/04/2020).
Dengan dihapusnya Direktorat Seni dan Sejarah tahun 2020 di Kemendikbudristek, papar Ananda, selain efek negatif, seniman juga harus mengambil efek positifnya, yaitu bisa mengangkat kejadian ataupun tokoh yang tadinya tidak disebut di dalam sejarah.
“Nah, mana ada Ny. Auw Tjoei Lan dan suaminya, kapitan Lie Tjian Tjoen? Semoga opera saya bisa membuat sosok Auw Tjoei Lan menjadi kebanggaan kita semua, tanpa saya harus ‘mengajari’ dan ‘menyuruh menghafal’ data tentang beliau seperti halnya pelajaran sejarah di sekolah,” jelas komponis yang lulus dengan Summa Cum Laude dari Koninklijk Conservatorium di Den Haag itu.
Konsep emansipasi wanita cenderung hanya disematkan pada perempuan pribumi saja, seperti Raden Ajeng Kartini, Rangkayo Rasuna Said, atau Dewi Sartika. Padahal, etnis Tionghoa juga sangat terlibat dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Belum pernah ada diskusi tentang upaya Auw Tjoei Lan dalam memperjuangkan hak azasi manusia di Indonesia.
Opera Ananda Sukarlan ini menggunakan studi historis dengan sumber data secara studi literatur yang kemudian dituangkan ke dalam naskah yang ditulis penulis/penyair Emi Suy. Jasa Auw Tjoei Lan serta kepahlawanannya sungguh luar biasa dalam upaya memperjuangkan diskriminasi di Indonesia khususnya bagi kalangan perempuan.
Ati Soetji
Di Batavia, pada awal abad 20, banyak terjadi perdagangan manusia. Pada awalnya gadis-gadis belia yang umumnya berasal dari keluarga miskin ini dibawa dari Cina untuk dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga di Malaya, tetapi kemudian mereka dijadikan sebagai pelacur di rumah-rumah bordil. Malaya kemudian memperketat izin masuk kapal-kapal yang berasal dari Cina dan perempuan-perempuan muda ini diperjualbelikan di Batavia.
Usaha Auw Tjoei Lan untuk menyelamatkan mereka tidaklah mudah, karena ia sendiri harus berhadapan dengan germo yang merasa bisnisnya terancam. Ancaman fisik kerap ia temui, tetapi itu tidak menyurutkan dedikasinya untuk memberi perlindungan pada perempuan-perempuan tersebut.
Ia kerap ke luar di malam hari dan pergi ke pelabuhan untuk mencari keberadaan perempuan yang membutuhkan pertolongannya. Bersama suaminya Lie Tjian Tjoen yang seorang kapiten, ia mendirikan “Ati Soetji”. Di lembaga Ati Soetji ini, para perempuan muda itu ditampung, dirawat, dan dilatih keterampilan. (*/rls)
Penulis: Tiara N.S.
Editor: Muhammad Subhan
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).